Selasa, 26 Januari 2010

Nasikh Mansukh

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar belakang masalah                                                     

Dari awal hingga akhir, al-Qur'an merupakan  kesatuan  utuh. Tak  ada  pertentangan  satu  dengan  lainnya. Masing-masing saling menjelaskan  al-Qur'an  yufassir-u  ba'dhuhu  ba'dha([1]). Dari  segi  kejelasan,  ada  empat  tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua,  cukup  jelas bagi  yang  bisa  berbahasa  Arab.  Ketiga, cukup jelas bagi ulama/para ahli, dan keempat, hanya  Allah  yang  mengetahui maksudnya([2]).

 Dalam  al-Qur'an  dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab([3]) yang sudah mempunyai  kekuatan  hokum tetap.  Ketentuan-ketentuan  induk  itulah  yang  senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan  pedoman  pengembangan berbagai    pengertian,    sejalan    dengan   sistematisasi interpretasi dalam ilmu  hukum  -hubungan  antara  ketentuan undang-undang     yang     hendak     ditafsirkan     dengan ketentuan-ketentuan  lainnya  dari  undang-undang   tersebut maupun   undang-undang  lainnya  yang  sejenis,  yang  harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu  ayat  dengan  ayat  lainnya. 

Hal  ini  untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa,  sistem  dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak kalah  pentingnya.  Itulah unsur   sejarah  yang  melatarbelakangi  terbentuknya  suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis."

Dalam ilmu tafsir ada  yang  disebut  asbab  al-nuzul,  yang mempunyai  unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir  memberi  tempat   yang   cukup   tinggi   terhadap pengertian   ayat  al-Qur'an.  Dalam  konteks  sejarah  yang menyangkut interpretasi  itulah  kita  membicarakan  masalah nasikh-mansukh.

B.     TOPIK PEMBAHASAN

 Dalam hal ini masalah yang terpenting untuk kita  soroti  adalah masalah   asas, pengertian/batasan, Perbedaan Antara Nasakh, Takhshis Dan Bada', jenis-jenis, kedudukan, hirarki penggunaan, kawasan penggunaan dan hikmah kegunaannya.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     ASAS

 Andaikan al-Qur'an tidak diturunkan dari Allah, isinya pasti saling  bertentangan([4]).  Ungkapan ini sangat penting dalam rangka   memahami   dan    menafsirkan    ayat-ayat    serta ketentuan-ketentuan  yang  ada  dalam  al-Qur'an. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat  lebih  dan  terbagi  dalam  114 kelompok  surat,  mengandung  berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.  Didalamnya  terkandung  antara   lain   nasihat, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan, keimanan, ajaran budi luhur,   perintah   dan   larangan.   Masalah-masalah   yang disebutkan   terakhir   ini,   tampak  jelas  dengan  adanya ciri-ciri hukum didalamnya. Semua jenis masalah ini  terkait satu dengan lainnya dan saling menjelaskan.

 Dalam  kaitan  itu, Imam Suyuthi maupun Imam Syathibi banyak mengulas prinsip tersebut. Mereka mencatat  adanya  pendapat yang  memandang  adanya  tiap  ayat  atau kelompok ayat yang berdiri sendiri. Tapi semuanya berpendapat bahwa antara satu ayat dengan ayat lainnya dari  al-Qur'an  tidak  ada kontradiksi (ta'arudl). Dari asas inilah lahir metode-metode penafsiran untuk meluruskan    pengertian terhadap bagian-bagian yang sepintas lalu tampak saling bertentangan. Adanya   gejala pertentangan (ta'arudl)   yang  demikian merupakan asas metode  penafsiran  dimana   Nasikh-Mansukh merupakan salah satu bagiannya([5]).

B.     PENGERTIAN

Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata  ini  dipakai  untuk  beberapa  pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut Abu  Hasyim, pengertian  majazinya  ialah pemindahan atau pengalihan([6]).

Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian  terminologis.  Perbedaan  terma  yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.

 Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hokum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyatakan berakhirnya  masa  pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakup pengertian  pembatasan  (qaid)  bagi  suatu pengertian bebas (muthlaq).  Juga  dapat  mencakup  pengertian   pengkhususan (makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga  pengertian  pengecualian  (istitsna).  Demikian   pula pengertian syarat dan sifatnya.

Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasan pengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antara nasikh  dan  makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh  terbatas  hanya  untuk  ketentuan hukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan   hukum   yang terdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialah ketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikan ketentuan  yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari  satu  pengertian, dan  di  lain  pihak  -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian([7]).

C.      PERBEDAAN ANTARA NASAKH, TAKHSHIS DAN BADA'

Terdapat perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahani[8] dalam memandang persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hokum dalam al quran. Namun dengan tegas, al Ashfahani menyatakan bahwaal quran tidak pernah disentuh "pembatalan"[9] meskipun demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:

1.      Adanya pengecualian hokum yang bersifat umum oleh hokum yang sefesifik yang datang kemudian;

2.      Adanya penjelasn susulan terhadap hokum terdahulu yang ambigius;

3.      Adanya penetapan syarat terhadap hokum yang terdahulu yang belum bersyarat.

Ibnu Katsir dan al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai nasakh, sedangkan al Ashfahani memandangnya sebagai takhshis.[10] Tampaknya al Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran. Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hokum yang bersifat umum, untuk mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis). Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai "mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang tercakup dalam lafad 'amm"[11]

Bertolak dari pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:

NASAKH

TAKHSHIS

  1. Satuan yang terdapat dalam Nasakh bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalam Mansukh.
  2. Nasakh adalah menghapuskan hokum dari seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
  3. Nasakh hanya terjadi dengan dalil yang dating kemudian.
  4. Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
  5. Setelah terjadi nasakh, seluruh satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hokum yang tedapat dalam mansukh.
  1. Satuan yang tedapat dalam takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz 'aam.
  2. Takhshis adalah merupakan hokum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil 'aam.
  3. Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
  4. Takhshis tidak menghapuskan hokum 'aam sama sekali. Hokum 'aam tetap berlaku meskipun sudah dikhushuskan.
  5. Setelah terjadi Takhshis, sisa satuan yang terdapat pada 'aam tetap terikat oleh dalil áam.

Adapun Bada', menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba'da al Khofa' ( menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT. Surat al Jatsiyah,45:33 :

 

33. dan nyatalah bagi mereka keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh (azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya.

Arti bada' yang lain adalah "nasy'ah ra'yin jaded lam yaku maujud" (munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi inipun tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat yusuf,12:35:[12]

¢OèO #yt/ Mçlm; .`ÏiB Ï÷èt/ $tB (#ãrr&u ÏM»tƒFy$# ¼çm¨ZãYàfó¡uŠs9 4Ó®Lym &ûüÏm ÇÌÎÈ  

35. kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf, Namun demikian mereka memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah adalah Yusuf; dan orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini.].

Dari kedua definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya dengan hakikat nasakh. Dalam bada' , timbulnya hokum yang baru disebabkan oleh ketidak tahuan sang pembuat hokum akan kemungkinan humunculnya hokum baru itu. Ini tentu berbeda dengan nasakh, sebab dalam nasakh, bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT. Mengetahui nasikh dan mansukh sejak zaman azali, sebelum hokum-hukum itu diturunkan kepada manusia.[13]

 

D.     JENIS-JENIS NASKH

Masalah pertama yang ingin  kami  soroti  dalam  bagian  ini ialah  adanya  naskh  antara  satu  syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana  dapat  kita  amati  antara syari'at  Nabi  Isa  as.  dengan syari'at hukum agama Yahudi yang lebih  dahulu  ada.  Dalam  hubungan  ini,  dapat  kita katakan  bilamana  kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at, dengan  sendirinya  kita  mengaku   adanya   naskh,   karena syari'at-syari'at  sebelumnya  tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak  akan  kita  berlakukan,  sepanjang tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw.

Jadi, adanya nasikh-mansukh  antar  syari'at  itu  merupakan salah  satu  jenis naskh. Hal semacam ini jika ditinjau dari segi pendekatan ilmu hukum, sangat jelas maksudnya, misalnya pengertian suatu pemerintahan/Negara dengan pemerintahan/ negara  lainnya. Contohnya, adanya pemerintahan/Negara kolonial Hindia Belanda dengan pemerintahan/negara  nasional Republik Indonesia. Dalam kaitan ini soal kedaulatan, hokum dasar dan  hukum-hukum yang langsung  berhubungan  dengan kedaulatan, serta hukum-hukum lainnya semuanya  dicabut  dan tidak diberlakukan lagi sepanjang tidak dikukuhkan pemerintah/negara baru itu.

 Jika   kita   sudah   melihat  adanya  nasikh-mansukh  antar syari'at,  apakah  didalam  satu   syari'at   terjadi   juga nasikh-mansukh  antara  hukum  yang  satu  dengan hukum yang lainnya? Jika kita kembali pada syari'at Islam sendiri, kita akan  menemui  beberapa  kasus yang dapat memberikan jawaban atas masalah ini.

 1. Sesudah hijrah ke Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain: keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram([14]). Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hokum kiblat. Kasus lain misalnya dalam hal shalat yang semula tidak diperintahkan lima waktu dengan 17 raka'at. Ini juga berarti telah terjadi nasikh-mansukh dalam hukum shalat.

2. Kasus-kasus yang digambarkan di atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Sedangkan di bidang mu'amalat, dapat pula kita catat beberapa kasus, misalnya hukum keluarga. Sebagai contoh, semula ditetapkan masa tenggang ('iddah) bagi seorang janda, lamanya 1 (satu) tahun([15]). Beberapa waktu kemudian ditetapkan ketentuan hukum lain bahwa masa tenggangnya 4 bulan 10 hari([16]). Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan sebagainya.

 Dari seluruh kasus-kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan, memang  terbukti  adanya nasikh-mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan  hukum  yang  sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan ketentuan hukum lain.  Hal  seperti  ini, jika  dilihat  dari  sudut  pendekatan ilmu hukum adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi.  Bahwa  suatu  undang-undang atau  peraturan  hukum lainnya dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, kemudian diganti dengan  menetapkan undang-undang atau peraturan lain.

 Persoalan  lebih jauh dalam masalah nasikh-mansukh ini ialah soal nasikh-mansukh antara al-Qur'an dengan Sunnah. Adanya nasikh-mansukh antara satu ayat yang memuat ketentuan hokum dalam al-Qur'an dengan lain ayat yang juga memuat  ketentuan hukum dalam  soal  yang  sama,  adalah  satu hal yang tidak diperselisihkan lagi.

Demikian  pula  adanya  nasikh-mansukh antara  satu  hadits  yang memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu  hal  yang  tidak  diperselisihkan lagi. Juga, adanya nasikh-mansukh antara satu hadits yang memuat ketentuan hukum dalam Sunnah dengan lain hadits  yang juga  memuat ketentuan hukum dalam soal yang sama, merupakan satu hal yang sudah tidak diperselisihkan lagi.

Masalah yang menimbulkan  perbedaan  pendapat  diantara  para ulama ialah adanya  nasikh-mansukh  silang   antara   al-Qur'an   dengan Hadits/Sunnah.  Jika  disimak  alasan  masing-masing  pihak, mungkin  dapat  ditarik  satu  garis  bahwa   faktor   utama terjadinya  perbedaan pendapat ialah pandangan masing-masing tentang  kedudukan  hirarki  al-Qur'an  dan   Sunnah   dalam syari'at itu sendiri.

Dalam  kaitan  hirarki  al-Qur'an  dan  Sunnah,  ada semacam kesepakatan bahwa dalam nasikh-mansukh kedua unsurnya  harus sama tingkatnya dan sama nilai dan sifatnya. Lembaga tawatur dan ahad termasuk faktor yang dipertimbangkan. Jalan pikiran seperti ini terdapat juga di kalangan ahli hukum bahwa suatu peraturan hukum tidak dapat dicabut dengan  peraturan  hokum lainnya   yang  lebih  rendah  tingkatannya.

Demikian  pula lembaga yang mengeluarkan  peraturan  hukum  menjadi  factor pertimbangan.  Berdasarkan  pemikiran ini, ada satu hal yang perlu kita catat bahwa setelah  Rasulullah  saw  wafat  maka tidak  ada  lagi  nasikh-mansukh  yang  mungkin terjadi pada syari'at.

 Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut  segi formalnya.  Jenis lain yang menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat  eksklusif  (sharih)  dan  inklusif  (dlimni). Untuk  yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum  kiblat.  Ketentuan  yang  nasikh (pengganti)  ditetapkan  secara  jelas([17]). Ini contoh dari al-Qur'an. Sedangkan contoh lain dari Sunnah misalnya  hokum ziarah   kubur.   Didalam  hadits  disebutkan,  "Pernah  aku melarang   kalian   melakukan   ziarah    kubur.    Sekarang lakukanlah!"([18]).  Berbeda  dengan  hal  tersebut diatas, nasikh  yang  bersifat   dlimni   tidak   memuat   penegasan didalamnya  bahwa  ketentuan  yang  mendahuluinya  tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang mendahuluinya.  Jenis  seperti  inilah yang banyak ditemukan dalam hukum syari'at.

E.      KEDUDUKAN NASKH

 Masalah naskh bukanlah  sesuatu  yang  berdiri  sendiri.  Ia merupakan  bagian yang berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu  Ushul  Fiqh.  Karena  itu  masalah   naskh   merupakan techniseterm  dengan  batasan  pengertian  yang  baku. Dalam kaitan ini Imam Subki menerangkan adanya perbedaan  pendapat tentang  kedudukan naskh: apakah ia berfungsi mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)([19]). Ungkapan Imam Subki ini dapat dikaitkan  dengan  hal-hal yang menyangkut jenis-jenis naskh yang diuraikan di atas. Jika ditinjau  dari  segi  formalnya maka  fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila ditinjau dari  segi  materinya,  maka  fungsi   penjelasannya   lebih menonjol. Meski demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu  fungsi  pokok  bahwa  naskh  merupakan   salah   satu interpretasi hukum.

F.       HIRARKI PENGGUNAAN NASKH

 Yang  menjadi  persoalan  sekarang,  apakah  naskh menempati urutan  pertama  dalam  interpretasi  hukum-syari'at?  Dalam upaya melakukan interpretasi suatu peraturan dalam syari'at, baik al-Qur'an maupun  Hadits  setiap  ketentuan  hukum  itu harus  jelas.  Pengertiannya  tidak  boleh meragukan, supaya kepastian  hukumnya  terjamin.   Semua   segi   yang   dapat memperjelas kondisi sesungguhnya, maksud ketentuan hukum itu harus  disoroti  dan  didalami.   Misalnya, tentang segi bahasanya, proses terjadinya, hubungannya antara ketentuan hukum itu dengan ketentuan hukum yang lain.  Dalam  hal  ini harus ada upaya mengawinkan kedua ketentuan hukum itu (jam') atau memperkuat salah satu diantaranya (tarjih). Baik  upaya jam'  maupun  tarjih  sudah mempunyai tata aturan yang sudah baku dalam disiplin ilmu Usul Fiqh.

 Jika tingkat interpretasi ini sudah ditempuh dan ternyata kontradiksi  antara  dua  ketentuan  hukum  itu  juga  sudah teratasi, maka pada tingkat inilah dipersoalkan  kemungkinan adanya  nasikh-mansukh  antara dua ketentuan hukum tersebut. Kuncinya terletak pada soal historis yang  menyangkut  kedua ketentuan  hukum  tersebut.  Faktor asbab al-nuzul bagi ayat dan asbab al-wurud bagi Hadits, ada dalam tingkat ini. Maka setiap masalah nasikh-mansukh berada pada tingkat akhir dari suatu upaya interpretasi([20]).

G.     KAWASAN PENGGUNAAN NASKH

Masalah yang tidak kurang pentingnya disoroti,  sejauh  mana jangkauan  naskh  itu?  Apakah semua ketentuan hukum didalam syari'at ada kemungkinannya terjangkau naskh? Dalam hal  ini Imam Subki menukil pendapat Imam Ghazali bahwa esensi taklif (beban  tugas  keagamaan)  sebagai  suatu  kebulatan   tidak mungkin  terjangkau oleh naskh. Selanjutnya, Syekh Asshabuni mencuplik pendapat jumhur ulama bahwa naskh hanya menyangkut perintah dan larangan, tidak termasuk masalah berita, karena mustahil  Allah  berdusta([21]).  Sejalan  dengan  ini  Imam Thabari  mempertegas,  nasikh-mansukh  yang  terjadi  antara ayat-ayat al-Qur'an yang mengubah halal menjadi haram,  atau sebaliknya,   itu   semua   hanya  menyangkut  perintah  dan larangan,   sedangkan    dalam    berita    tidak    terjadi nasikh-mansukh.

 Ungkapan  ini  cukup penting diperhatikan, karena soal naskh adalah  semata-mata  soal  hukum,  yang   hanya   menyangkut perintah  dan larangan, dan merupakan dua unsur pokok hukum. Hal seperti yang diuraikan di atas,  di  bidang  ilmu  Hukum dapat  kita  lihat  gambarnya  pada  Hukum  Dasar,  misalnya Undangundang  Dasar  Negara  yang  tidak   dapat   dijangkau pencabutan.  Adanya  pencabutan  terhadap  sesuatu peraturan hukum dan penetapan  peraturan  lain  untuk  menggantikannya hanya  berlaku  pada  undang-undang  organik atau peraturan, kedudukan dan kawasan naskh. Dengan demikian,  dengan  mudah kita dapat mengenal beberapa persyaratan, yaitu:  

1. Adanya ketentuan hukum yang dicabut (Mansukh) dalam formulasinya tidak mengandung keterangan bahwa ketentuan itu berlaku untuk seterusnya atau selama-lamanya.

2. Ketentuan hukum tersebut bukan yang telah mencapai kesepakatan universal tentang kebaikan atau keburukannya, seperti kejujuran dan keadilan untuk pihak yang baik serta kebohongan dan ketidakadilan untuk yang buruk.

3. Ketentuan hukum yang mencabut (Nasikh) ditetapkan kemudian, karena pada hakikatnya nasikh adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya.

4. Gejala kontradiksi sudah tidak dapat diatasi lagi.

H.  HIKMAH ADANYA NASKH

Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya. Turunnya  Kitab  Suci  al-Qur'an  tidak  terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,  lalu  Qur'an sendiri  menjawab,  pentahapan  itu  untuk  pemantapan,([22]) khususnya di bidang hukum. Dalam  hal  ini  Syekh  al-Qasimi berkata,  sesungguhnya  al-Khalik  Yang  Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama  23  tahun  dalam  proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu  mulanya bersifat  kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat  universal.  Demikianlah Sunnah   al-Khaliq   diberlakukan  terhadap  perorangan  dan bangsa-bangsa   dengan   sama.  

Jika   engkau   melayangkan pandanganmu  ke  alam  yang  hidup  ini,  engkau  pasti akan mengetahui bahwa naskh  (penghapusan)  adalah  undang-undang alami   yang   lazim,  baik  dalam  bidang  material  maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari  unsur-unsur sperma  dan  telur  kemudian  menjadi  janin,  lalu  berubah menjadi  anak,  kemudian  tumbuh  menjadi  remaja,   dewasa, kemudian  orang  tua dan seterusnya.

Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam  ini  selalu berjalan  proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari  terjadinya, mengapa  kita  mempersoalkan  adanya  penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke  yang  lebih tinggi?  Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung  membenahi  bangsa  Arab  yang masih  dalam  proses  permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah  mencapai  kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka  bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan  hukum,  memberikan  beban  kepada suatu  bangsa  yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan  melainkan  oleh  suatu bangsa  yang  telah  menaiki  jenjang  kedewasaannya?  Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita  yang  menurut sunnah  Allah  ditentukan  hukum-hukumnya  sendiri, kemudian di-nasakh-kan  karena  dipandang  perlu  atau  disempurnakan hal-hal  yang  dipandang  tidak  mampu  dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah  syari'at-syari'at  agama lain  yang  diubah  sendiri  oleh  para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?([23])

 Syari'at Allah adalah perwujudan  dari  rahmat-Nya.  Dia-lah yang  Maha  Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib  dan adil  untuk  mencapai  kehidupan  yang  aman,  sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

al-Qur'an merupakan  kesatuan  utuh. Tak  ada  pertentangan  satu  dengan  lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an  yufassir-u  ba'dhuhu  ba'dha. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi  dalam  114 kelompok  surat,  mengandung  berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.

Adanya nasikh-mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.       Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan

2.       Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim

3.      Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh

4.       Al-Thusi, Uddat al-Ushul

5.       'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah

6.      Shihab, Op.cit.,:144

7.      Al Zarqani, Op.cit.,:80

8.      Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.

9.      Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78

10.   Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih

11.   Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'

12.   Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh

13.   Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan

14.   Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.

 

 

 

 

 



[1] Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Itqan

[2] Ibn Katsir, Tafsir-u 'l-Qur'an-i 'l-'Azhim

[3] QS. Ali 'Imran: 7

[4] QS. Al-Nisa: 82

[5] Imam Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh

[6] Al-Thusi, Uddat al-Ushul

[7] 'Abbas Mutawalli Hamadah, Al-Sunnat al-Nabawiyyah

[8] Ia adalah Muhammad bin Bahr yang terkenal dengan nama Abu Muslim al Ashfahani. Ia adalah seorang Mudasir terkemuka dari kalangan Mu'tazilah. Karyanya yang paling monumental adalah sebuah kitab tafsir yang berjudul Jami' Al Ta'wil. Ia wafat tahun 322H. Manna' al Qaththan, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Mansyurat al 'Ashr al Hadis, ttp., 1973 : 235.

[9] Ibid.

[10] Shihab, Op.cit.,:144

[11] Al Zarqani, Op.cit.,:80

[12] Subhi ash Shalih, Mabahits fi 'Ulum al Quran, Dar al Qolam li al Malayin, Beirut 1988:271.

[13] Badr ad Din Muhammad bin 'Abdillah az Zarkasyi, al Burhan fi 'Ulum al Quran, jilid II:78

[14] QS. Al-Baqarah: 114

[15] QS. Al-Baqarah: 240

[16] QS. Al-Baqarah: 234

[17] QS. Al-Baqarah: 142

[18] Imam Muslim, Al-Jami' al-Shahih

[19] Imam Al-Subki, Jam' al-Jawami'

[20] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh

[21] Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-Bayan

[22] QS. Al-Furqan: 32

[23] Al-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil.

2 komentar: