Selasa, 26 Januari 2010

FIQH DALAM KAJIAN FILSAFAT

BAB I

PENDAHULUAN


A.                    Latar Belakang

Kedudukan fiqh merupakan suatu kajian tentang penilaian suatu tindakan. Fiqh mengkaji apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah melalui lima hukum utama (haram, halal, wajib, sunnah, dan makruh). Menurut Ibn Kholdun fiqh adalah sebuah bentuk pengetahuan terhadap aturan Tuhan yang ditujukan kepada tingkah laku manusia  dimana mereka mesti harus taat kepada bentuk aturan tersebut yang meliputi wajib, haram, mandub, mubah dan makruh.(([1]

Oleh karena itu fiqh mengkaji hukum Tuhan untuk menentukan tinjauan terhadap bentuk perilaku manusia (muslim). Dalam permasalahan filsafat, tinjauan tentang bentuk tingkah laku manusia (moralitas) juga dibahas dan terfokuskan pada cabang filsafat Ethika. Cabang filsafat ini membicarakan tentang moralitas, atau pembahasan tentang arahan nilai bagi tindakan-tindakan. Ethika juga mencakup mempelajari tentang Apa yang benar atau salah dalam hubungan antar manusia.([2]) Sehingga ia juga mempelajari penilaian tentang tingkah laku manusia sebagaimana yang dipelajari dalam fiqh Islam.

Dalam perdebatan Filsafat kontemporer, penilaian atau pandangan tentang sesuatu dikaitkan dengan kesadaran. Suatu hal yang dianggap baik atau buruk ataupun segala sesuatu yang berkaitan dengan permasalahan pandangan dunia, acap dikaitkan dengan “bentuk kesadaran yang terkonstruksikan” oleh mekanisme kondisi sosial tertentu. Pembahasan tentang “kesadaran” ataupun “ideologi” acap dikaitkan dengan kesadaran palsu atau sebagai produk hubungan (relasi) manusia. Pemikiran Filsuf besar seperti Marx, Freud, maupun Foucault, tidak memandang suatu bentuk ideologi (sesuatu yang dianggap benar) sebagai suatu kebenaran, melainkan bentuk kesadaran  palsu. Bahkan dalam sebagian pemikiran Teori Kritis, ideologi (juga meliputi agama, dimana fiqh menjadi bagian dari “alat penjelas”nya) tak lebih dari sebuah bentuk dominasi yang harus dirobohkan dengan pemikiran kritis.(([3]

B.                    Rumusan Masalah :

A.                    Fiqh Sebagai Proses Pencarian Hukum Tuhan

B.                    Etika Sebagai Cabang Ilmu Filsafat Nilai Tindakan (Moral)

C.                    Kritik Terhadap Moralitas (Fiqh)

D.                    Fiqh Dalam Pendekatan Hermeneutika


BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Fiqh Sebagai Proses Pencarian Hukum Tuhan

 Fiqh merupakan kaedah yang dipakai ulama dalam menentukan suatu hukum. Fiqh mempelajari untuk menentukan bagaimana kehendak Tuhan yang disampaikan lewat ayat suci maupun perkataan utusanNya. Hal ini diasumsikan bahwa Tuhan mempunyai suatu otoritas dalam menentukan tingkah laku manusia, sehingga tingkah laku manusia dapat disesuaikan dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan disampaikan kepada Rasulnya dan melalui rasulNya itu, manusia dapat memahami dan mengerti apa-apa yang dikehendaki Tuhan untuk dikerjakan oleh manusia.

Tuhan Sang Pencipta Alam, mengutus seorang utusan kepada manusia. Ia membawa suatu misi menyampaikan risalah Tuhan untuk disampaikan kepada manusia, risalah tersebut berupa pengetahuan akan Tuhan, alam, manusia dan hari akhir. Selain memuat keterangan hal itu, Tuhan juga menghendaki manusia agar bertingkah laku sesuai dengan kehendakNya, oleh karena itu didalamnya juga terkandung hukum moral.(([4]

Untuk memahami hukum Tuhan tersebut, maka diperlukan beberapa kaedah pokok untuk menentukan benar atau salah di mata Allah. Beberapa kaedah tersebut meliputi tingkatan pengambilan hukum yaitu dengan merujuk langsung kepada Al Qur’an dan Sunnah, ataupun mengikuti Imam Syafi’i ada beberapa kaidah lain yang harus diperhatikan dalam menentukan sebuah hukum, yaitu  ijma’  atau ketetapan otoritas ulama, Qiyas, dan Istihsan.(([5]

Kaedah tersebut, bukanlah ditentukan oleh Sang Utusan (Nabi Muhammad) itu sendiri, melainkan dibentuk melalui semacam kesepakatan. Nabi hanya menyatakan bahwa Al Qur’an dan As Sunnah merupakan pedoman, tetapi tidak meninggalkan dengan cara bagaimana kita mesti menafsirkan al Qur’an ataupun dengan kaedah apa yang dipakai untuk mengambil darinya suatu hukum tersebut, tetapi para sahabat biasanya mengambil secara tekstual (pendekatan bayani) dalam menentukan suatu hukum, sebagaimana dipraktekkan pada zaman Nabi.

Ketika menyebarnya islam ke berbagai bangsa dan menghadapi perbedaan kultur dengan bangsa arab, maka ditemukan banyak suatu peristiwa yang memerlukan suatu ijtihad untuk menentukan suatu hukum. Maka diperlukan suatu studi tentang ushul fiqh, pada masa inilah fiqh mengalami suatu pertumbuhan dikarenakan suatu tuntutan zaman yang menghendaki adanya suatu kepastian moral. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, sesuai dengan potensi akal manusia, maka ditemukan banyak perbedaan dalam menetapkan suatu hukum. Perbedaan tersebut dikenal dengan Mahdzab (aliran) dengan nama aliran sesuai dengan ulama bersangkutan.([6])

 

B.      Etika Sebagai Cabang Ilmu Filsafat Nilai Tindakan (Moral)

Filsafat merupakan studi tentang permasalahan dengan menggunakan suatu pemikiran kritis, mendalam/radikal, koheren, universal tentang segala sesuatu. Ia berusaha mempertanyakan hakekat segala sesuatu dengan mempertanyakan, menyelidiki, serta mencari suatu kebenaran([7]) yang meliputi eksistensi, pengetahuan, keindahan, keadilan, kebenaran, validitas pengetahuan, fikiran dan bahasa.(([8]

Dalam memikirkan hakekat dari segala sesuatu tersebut, maka banyaknya hal yang berbeda dalam realitas, maka pembahasan tentang hakekat segala sesuatu tersebut, dibagi dalam beberapa bidang untuk lebih memudahkan suatu penyelidikan. Maka dalam filsafat ada cabang-cabangnya, yang meliputi; metafisika, logika, dan epistemologi.([9])

Dari beberapa bidang tersebut, suatu cabang filsafat yang mempelajari tentang hakekat tindakan manusia dibahas dalam bidang etika. Dalam cabang filsafat, kita mempertanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan ”bagaimana suatu tindakan itu dibenarkan/mungkin”  atau melalui standart apa suatu tindakan itu dianggap sebagai suatu hal yang benar. Darinya lalu dirumuskan beberapa asumsi, misalnya yang menyatakan bahwa tindakan dikatakan benar sejauh mana tindakan itu membawa pada kenikmatan, sedangkan yang lain menyatakan sejauh tindakan itu bermanfaat. Sehingga dari sini, timbullah beberapa aliran dalam ethika.([10])

Aliran etika tersebut meliputi hedonisme, sebagaimana sudah dikemukakan di muka, aliran ini meletakkan ukuran baik dan buruk tergantung pada apakah suatu tindakan tersebut mampu mendatangkan kenikmatan. Aliran yang lain adalah aliran stoisme (Stoic) dimana meletakkan kebajikan pada kepuasan emosional dan spiritual. Pandangan terhadap moralitas tersebut didasarkan pada tujuan apa yang terkandung dalam suatu bentuk tindakan untuk menentukan benar atau salahnya suatu tindakan.

Hal ini merupakan suatu hal yang logis, karena manusia dihadapkan pada situasi untuk menentukan arahan moral. Situasi tersebut menuntut manusia untuk segera merealisasikannya. Yaitu kebutuhan fisik (yang meliputi makan, minum, dan seksual), kebutuhan emosional (ketenangan, kearifan, kedamaian, dsb), kebutuhan sosial (kerjasama, interaksi sosial, komunikasi dll), dan kebutuhan spiritual. Kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu direalisasikan dalam kehidupan yang nyata, sehingga ada beberapa bentuk tindakan yang dinilai berdasarkan pada tujuan-tujuan perealisasian dari kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Sedangkan dalam pemikiran Kant, suatu hal yang baik atau buruk sudah ditentukan, sehingga kebaikan merupakan suatu prinsip yang bersifat transendental tanpa meliputi tujuan. Kebajikan merupakan suatu yang di luar situasi kemanusiaan dan tidak berhubungan dengan tujuan perealisasian tujuan-tujuan atau perealisasian dari tuntutan manusiawi sebagaimana hal diatas, melainkan merupakan suatu hal yang inhern pada manusia. Kant memberikan isitlah suatu bentuk moral yang inhern tersebut dengan istilah Imperatif Categoris.([11])

Etika dalam sudut pandang Agama Abrahamik dinisbahkan kepada Tuhan. Bahwa Tuhan menciptakan nilai di luar perspektif manusia, yang darinya manusia mesti bertindak dan mampu membedakan antara tindakan yang baik untuk dilaksanakan dan tindakan yang buruk untuk dicegah. Etika dalam pandangan agama Abrahamik, berbeda dengan konsep etika sebagaimana yang disebutkan dalam filsuf tersebut. Agama Abrahamik tidak memberikan tujuan tindakan bagi perealisasian kebutuhan manusia, melainkan sebagai suatu nilai dari Tuhan melalui konsep pewahyuan. Sehingga wahyu merupakan suatu hal yang pokok untuk memberikan arahan penilaian tentang moralitas.([12])

Dalam sub bab ini, maka kesimpulannya adalah bahwa fiqh merupakan bentuk pencarian ketentuan moralitas berdasarkan pada salah satu sudut pandang keagamaan Abrahamik (Islam), melalui perujukan pada wahyu (sebagaimana dalam tradisi Yahudi dan Nasrani). Dimana perujukannya kepada wahyu terdapat beberapa metode untuk menentukan mana yang benar atau salah dalam memberikan penilaian terhadap suatu perbuatan (Istinbath) yang dikenal dalam istilah fiqh.

Dalam perkembangan selanjutnya terdapat pendekatan-pendekatan yang tidak selalu bersifat tekstual melainkan juga pendekatan fenomenologis. Pendekatan ini mengacu pada bagaimana agama mampu dirasakan secara langsung dalam pengalaman beragama.([13]) Tetapi, baik pendekatan fenomenologis maupun tekstual, sama-sama mengasumsikan bahwa nilai itu terletak pada Tuhan, sehingga tugas manusia itu menggalinya dengan merujuk pada wahyu yang tertulis melalui kitab suci maupun melalui pengalaman keberagamaan manusia atau religious experience, sebagaimana dalam tradisi tasawuf yang cenderung memakai pendekatan fenomenologis dalam menentukan pemahaman keagamaan.

 

  1. Kritik Terhadap Moralitas (Fiqh)

1. Kritik Foucault-ian

Dalam kajian moralitas dalam sudut pandang Michael Foucault, moralitas dianggap sebagai suatu Kuasa. Kuasa yang mengatur, mendisiplinkan, serta mengontrol tubuh. Tubuh disiplinkan lewat gereja, sekolah, rumah sakit jiwa, penjara, dsb. Tubuh merupakan sebuah organ pasif yang menerima proses obyektivasi atas dirinya. Tubuh akan menerima hukuman apabila ia tidak disiplin.

Dalam pemikiran Michael Foucault ada hal yang perlu diperhatikan, bahwa dalam pemikirannya, subyek (manusia) bukanlah seorang yang mampu berfikir secara mandiri ataupun mampu mendasarkan diri pada tindakan sadarnya. Melainkan apa yang ia fikirkan atau apa yang ia lakukan adalah produk dari struktur sosial, epistemologi, ataupun apa yang ia sadari sebagai suatu kebenaran tak lebih dari produk kuasa yang bermain dalam ruang lingkup diskursus. Begitu juga permasalahan makna, pengalaman, fikiran dan Kebenaran tak lebih dari produk kuasa yang memberi identitas kepada kita. Suatu bentuk pandangan terhadap dunia bersifat given. Sehingga dalam pemikiran Michael Foucault tidak dijumpai bentuk pemikiran Kritis Emansipatoris sebagaimana kita temukan dalam teori Kritis Mahdzab Frankfurt misalnya.([14])

Melalui gereja, tubuh diajarkan untuk bersikap lembut, menyelaraskan aturan, mematuhi hukum dan tubuh harus tunduk di bawah tuntutan normatif. Begitu juga tubuh harus dilatih, agar ia dapat terampil. Agar dapat terampil, maka tubuh perlu disekat dalam ruangan yang dipisahkan. Individu harus disiplin, dan siap menghadapi tugas yang akan diembannya setelah tubuh itu dilatih melalui ruang kelas. Tubuh juga perlu dibagi-bagi. Tubuh yang terampil dan tubuh yang tidak terampil, tubuh yang tidak terampil maka tubuh itu diberikan imbalan yang sedikit. Sedangkan tubuh yang terampil, maka ia perlu ditempatkan pada tingkat yang tinggi. Mesti diatur berdasarkan pada ketrampilan atau fungsi tubuh, serta kekuatan tubuh itu, karena tingkat kemampuan tubuh berbeda-beda.

Disiplin, kontrol, pengawasan, dan pengaturan pada tubuh itulah dilakukan oleh Kuasa (Power). Power tersebut meliputi bagaimana suatu bentuk kontrol terhadap tubuh itu menjadi mungkin. Hubungan timbal balik antara apa yang dianggap benar dan mekanisme kuasa atau mekanisme yang didalamnya “rezim politik berkuasa” dinamakan sebagai genealogi. Pendekatan foucault menegaskan bahwa suatu normativitas yang disepakati, baik itu berupa hati nurani atau panggilan hati, ide tentang moralitas baik, norma adat istiadat dsb semuanya merupakan bentuk identitas subyek historis. Ia ada karena konstruk hubungan timbal balik antara manusia, yang dipertahankan, atau diubah untuk mengontrol tubuh manusia untuk disiplin.

Pendekatan ini apabila dikaitkan dengan fiqh menjadi fiqh sebagai pengatur, alat kontrol, pengawas, dan pendisiplinan terhadap tubuh. Tubuh tidak boleh begini dan begitu, tubuh harus bersama di suatu ruangan (masjid), dan kenikmatan tubuh seksual diatur. Norma inilah yang ditekankan dan dijadikan pedoman bagi tubuh untuk mengatur serta mengawasinya. Norma ini (fiqh) menjadikan tubuh secara berjenjang menjadi orang yang berkuasa mengawasi dan mengontrol (ulama) dan tubuh yang dikontrol (awam), tapi di sisi lain, tubuh-tubuh itu untuk disiplin dalam suatu pola sikap tertentu.

Dalam pendekatan Foucault, mekanisme kuasa (power) atau kekuatan dalam pengaturan tubuh, tidaklah bersifat represif. Ia bersifat produktif, ia menjadikan tubuh disiplin, menjadikan wacana, memproduksi pengetahuan serta mendistribusikan nilai. Fiqh merupakan bentuk pengetahuan yang diproduksi dalam suatu bentuk relasi antar tubuh, berdasarkan pada kesepakatan yang dibuat sebelumnya (ijma’ terdahulu), dan menghasilkan pengetahuan baru (ijtihad yang baru), dan pengetahuan yang baru itu didistribusikan kepada tubuh yang lain, untuk mengontrol dan mengawasi yang lain. Foucault menyebut sifat bentuk Kuasa sebagai governmentality. Bentuk Kuasa tersebut lebih cenderung untuk menggunakan bentuk strategi, prosedur, ataupun penggunaan pihak-pihak (agen) yang berusaha untuk melakukan kontrol ataupun pengaruh dalam bentuk tingkah laku dengan menggunakan sarana pengetahuan, Kebenaran, dan kebijakan ekonomi dan politik.daripada penggunaan kekerasan. Sistem Kuasa ditunjang dengan seni kepemimpinan dengan menghendaki adanya kerelaan subyek yang dipimpin daripada penggunaan bentuk kekuasaan.([15])

Mekanisme kuasa itu menyebar, ulama, guru, ustadz, guru TPA, orang tua, sampai laskar FPI. Mereka mempunyai kuasa untuk mengontrol dan mengawasi bagaimana tubuh tetap disiplin serta memberikan hukuman pada tubuh yang tidak disiplin. Oleh karena itu kuasa itu bukan kuasa yang terpusat, tetapi kuasa itu menyebar. Sehingga tak hanya lembaga agama, tetapi semua bentuk Kuasa.

 

 2. Kritik Freud-ian

kritik ini mendasarkan diri pada kritik terhadap ”kesadaran akan kebenaran”. Apa yang dianggap benar, merupakan hasil ilusi, ia bukan lah realitas nyata yang diyakini di luar persepsi manusia. Tuhan, Agama, Jalan Keselamatan (Syari’ah), ritual, merupakan suatu bentuk dari gejala penyakit neurosis, suatu gejala dimana tindakan tidak dilakukan berdasarkan pilihan yang rasional tetapi terus dikerjakan dan terpaksa diulangi secara terus menerus, serta menguatkan ilusi tetnang adanya sesuatu di luar sana yang mempunyai kekuatan tertinggi.

Apa yang dialami dalam pengalaman keberagamaan tidak lebih dari suatu ekspresi dari tubuh, untuk menolak ketidaknyamanan atau ketidakmampuan manusia, sehingga secara tidak sadar (digerakkan oleh alam bawah sadar), untuk mencari sosok yang darinya, emosi kita dapat tenang karena merepresentasikan tentang sosok ayah. Sosok yang melindungi kita serta memberikan rasa nyaman kepada kita. Kebenaran agama bukanlah kebenaran mutlak, ia merupakan halusinatif. Ia merintangi seorang untuk berfikir sehat, dan dapat hidup secara otentik, serta darinya dapat mengekspresikan kemampuan total. Apa yang dilakukan oleh agama adalah melakukan terbaik untuk tuhan, ia tidak hidup dalam dunianya yang kongkret, ia tetap sibuk pada ketidaksadarannya.([16])

Kesadaran manusia hanyalah merupakan bagian terkecil yang menentukan pribadi, pilihan hidup, serta penentuan akan tindakan. Tindakan manusia sebagian terbesar ditentukan oleh alam bawah sadar kita, termasuk pada tindakan dalam melakukan tindakan beragama. ([17] )

Tindakan beragama merupakan bagian dari mekanisme pertahanan diri manusia bagaimana untuk menyelaraskan atau mendamaikan antara prinsip Id dan Superego. Instink manusia itu meliputi dua hal, yaitu: insting hidup (makan, hidup dan seksual) dan insting mati (dorongan agresif). Keduanya ditekan melalui suatu cara agar dapat melindungi individu dari kecemasan yang berlebih. Cara yang digunakannya adalah selalu menolak insting tersebut, memalsu, memutarbalikkan, ataupun mengubah perspepsi.

Hal ini berarti keinginan untuk melakukan seks bebas dan keinginan untuk menyerang orang lain sebagai watak dasar spesies yang selalu memperebutkan sumber pemuasan instingtual. insting tersebut ada pada manusia, tetapi ia ditekan. Dan sarana penekanannya (sebagai mekanisme pertahanan diri) adalah agama. Kedudukan fiqh dalam kritik Freudian adalah fiqh merupakan suatu praktek yang didasarkan pada penghindaran pada prinsip kebebasan, ia adalah suatu praktek untuk memproduksi mekanisme pertahanan secara bersama-sama. Kritik ini mempunyai bentuk materialisme, dimana agama direduksi menjadi sebuah mekanisme pertahanan dari libido atau energi instingtual.

 

 3. Paradigma Kritis

Kritik ini biasanya diarahkan pada agama sebagai suatu yang bersifat konservatif, jumud anti perubahan, memproduksi kesadaran palsu, serta memanipulasi kesadaran manusia. Agama, melalui fiqh, menyediakan perangkat ide dan didokrtinkan pada tiap individu dalam suatu kultur, dan memberikan suatu gambaran tentang gambaran realitas untuk diyakininya. Fiqh dalam hal ini merupakan sebagai bentuk aparatus yang memberikan suatu gambaran tentang realitas, dan gambaran realitas itulah diberikan secara taken for granted melalui proses sosialisasi dan internalisasi.

Paradigma kritis selalu melihat ”gambaran tentang realitas” (ideologis) yang dibentuk oleh agama ataupun budaya, secara dialektik. Bahwa semua gambaran tersebut dihasilkan oleh suatu proses yang sifatnya dinamis dan dibentuk melalui relasi-relasi sosial yang tidak berimbang. Paradigma ini menegaskan bahwa ”pandangan dunia:” tidaklah hadir dari ruang hampa, melainkan dibentuk oleh sebuah hegemoni atau semacam konsensus dimana kelas atas banyak yang berperan untuk menentukan kesadaran manusia. Dan sebagai sebentuk konsensus ideologi bukanlah suatu hal yang bersifat statis, sempurna dan sakral, melainkan terus berubah.([18])

Fiqh merupakan bagian dari fungsi keagamaan, yang berfungsi sebagai praktek diskursus untuk menentukan gambaran tentang dunia, dan darinya dapat diberikan suatu bentuk kesadaran terhadap individu tentang apa itu dunia dan harus bagaimana ktia dengan dunia ini. agama hanyalah sebuah superstruktur kesadaran yang dibentuk dari infrasutruktur ekonomi, ia tercipta melalui relasi atau hubungan antar manusia. Ia hanya seperangkat norma dan nilai yang digunakan untuk melegalkan sistem sosial.

 

  1. Fiqh Dalam Pendekatan Hermeneutika

Apa yang disebutkan diatas merupakan bentuk kritik terhadap moralitas dan agama, termasuk fiqh. Beragam kritik tersebut berangkat dari asumsi yang digunakannya untuk melakukan langkah kritis terhadap moral dan agama. Foucault menekankan relasi antara Tubuh, Kuasa dan Pengetahuan. Sehingga Fiqh dapat direduksi pada bentuk pengetahuan, yang dihasilkan oleh diskursus, untuk memproduksi pengetahuan dan darinya mampu menciptakan suatu bentuk kedisiplinan terhadap tubuh.

Sedangkan Freud, melihat agama dari fungsi mekanisme pertahanan manusia untuk menyesuaikan tuntutan Id (instingtual) dan Superego (Kekangan) sehingga mampu terhindarkan dari kecemasan. Sedangkan kritik terhadap fiqh dari kacamata paradigma kritis, adalah bahwa paradigma kritis menggunakan asumsi bahwa teori yang bermakna merupakan teori yang mampu menghasilkan tindakan pembebasan manusia dari belenggu. Fiqh dianggap sebagai suatu teori yang tidak bermakna selama fiqh tidak menghasilkan suatu manfaat bagi gerakan pembebasan. Sehingga banyak pemikir, memasukkan asumsi paradigma kritis ini dalam pemikiran keagamaan mereka.

Cara pembacaan fiqh juga beragam apabila dilakukan peninjauan melalui sudut pandang hermeneutika. Fiqh merupakan suatu bentuk cara pembacaan terhadap teks, dan cara pembacaan terhadap teks tersbeut, ada beberapa metode (sesuai dengan aliran hermeneutika)

  1. aliran klasik (hermeneutika teoritis), meninjau teks untuk menemukan makna sesungguhnya dengan melakukan peninjauan kontekstual masa lalu penulisan atau dalam kasus al qur’an dengan mengetahui bagaimana sebuah teks itu dihasilkan oleh kultur
  2. aliran hermeneutika filosofis, lebih menekankan makna filosofis dari pembacaan teks. Yaitu bahwa pembacaan teks berarti suatu proses dialog antara pembaca dan teks untuk menemukan makna yang baru, bukan makna sesuai dengan penulis teks/

3.      aliran kritis, lebih menekankan tentang kepentingan-kepentingan yang ada pada penulisan teks. Karena teks (sebagaimana tuturan dalam Speech Act) tidak pernah lepas dari kepentingan.([19])

Sedangkan tambahan lagi adalah :

4.      Pendekatan Emilio Betti, yaitu metode penafsiran, terutama pada kitab suci, yaitu untuk menemukan suatu nilai umum pada masa lalu (ketika teks ditulis) untuk dibawa pada masa kini.

Beragam cara menafsirkan tersebut juga termuat dalam kajian fiqh masa kini. Tetapi secara umum model penafsiran pertama dan terakhir serta cara baca tekstualist, merupakan suatu hal yang umum dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci, termasuk bagaimana kita menentukan suatu hukum dalam al Al Qur’an tentang tingkah laku atau fiqh. Kajian fiqh tidak pernah lepas dari pendekatan bayani, bukan penafsiran fenomenologis atau model penafsiran yang meletakkan pengalaman keberagamaan (irfani) sebagai model pendekatan penafsiran.

 

BAB III

Kesimpulan

 

Agama dalam studi kefilsafatan diletakkan dalam posisi sebagai obyek ”penderita”. Agama yang selama ini dianggap sebagai suatu hal yang sakral, serta mempunyai pandangan yang dipercaya sebagai suatu hal yang valid yang menggambarkan seluruh realitas, manusia, dan hari depan, dilakukan peninjauan dengan membuang sikap takjub dan hormat padanya. Hal ini dikarenakan sifat dari filsafat sendiri memiliki sifat kritis dan menyangkut bentuk perenungan atau memikirkan sesuatu sampai tingkat sedalam-dalamnya. Sehingga kajian terhadap agama, ataupun tinjauan agama yang dipelajari melalui fiqh, tidak lebih dari obyek lain yang tidak mempunyai sifat yang sakral apabila dikaitkan dengan rasio.

 

 

Daftar Pustaka :

a.      Hardiman, Fransisco Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004)

b.      Boeree, C. George. Personality theories, melacak kepribadian Anda bersamaPsikolog Dunia, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Prisma Sophie, Yogyakarta, 2005.

c.       Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984)

d.      Thaha Jabir Al ‘Alwani, Ushul Al Fiqh Al Islami

e.      http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika

 

 

 

 

 

 

 



[1]  The historian Ibn Khaldun describes fiqh as “knowledge of the rules of God which concern the actions of persons who own themselves bound to obey the law respecting what is required (wajib), forbidden (haraam), recommended (mandÅ«b), disapproved (makruh) or merely permitted (mubah)” (http://en.wikipedia.org/wiki/Fiqh, diakses pada tanggal 11 Oktober 2008)

[2]  Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984) hlm. 21

[3] Yang terpokok adalah bagaimana manusia dapat membebaskan diri dari semua belenggu, termasuk belenggu keagamaan (Hardiman, Fransisco Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 153

[4] Ada ketersinambungan (persamaan) antara bentuk kepercayaan antara Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiganya mengasumsikan adanya pola hubungan Tuhan, Alam, Manusia dan wahyu. Dimana Tuhan menjadikan semua alam manusia dan apa-apa didalamnya, serta menjadikan manusia sebagai makhluk paling sempurna dan kepada mereka diberikan wahyu sebagai petunjuk tentang semua bentuk kebenaran. Selain itu mereka juga dijanjikan akan bentuk hari akhir yang baik (surga) apabila mereka mematuhi perintah Tuhan (Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, hlm. 422)

[5] Thaha Jabir Al ‘Alwani, Ushul Al Fiqh Al Islami: Source Methodology In Islamic Jurisprudence: Methodology For Research And Knowledge (http://www.usc.edu/dept/MSA/law/alalwani_usulalfiqh/ index.html) Chapter Four: Al Imam Al Shafi’i

[6] Thaha Jabir Al ‘Alwani, Ushul Al Fiqh Al Islami: Source Methodology In Islamic Jurisprudence: Methodology For Research And Knowledge, Chapter Three: Legislation After The Time Of The Sahabah

[7] Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984) hlm. 15

[8] Dalam wikipedia istilah ruang lingkup filsafat: Philosophy is the study of general problems concerning matters such as existence, knowledge, truth, beauty, justice, validity, mind, and language (http://en.wikipedia.org /wiki/Philosophy, diakses pada tanggal 15 Juni 2009)

[9] Dalam bukunya Harold H. Titus menyatakan bahwa cabang filsafat meliputi: Logika, Etika, Epistemologi, dan Metafisika (Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984) hlm. 18-22)

[10] Ukuran-ukuran ethika atau dengan standart ethika apa suatu perbuatan itu dianggap sebagai suatu hal yang benar/baik atau salah/buruk didasari pada suatu pertimbangan berdasarkan tuntutan situasi yang menelingkupi kondisi manusia. Seperti tuntutan seksual, makan, minum, bentuk spiritual, ketenangan emosional dll. Sehingga bentuk tindakan yang terarah pada pencapaian tuntutan tersebut dianggap sebagai suatu standart untuk menilai suatu bentuk tindakan. Misalnya aliran Hedonisme, Epicureanism, Utilitarianism, merupakan aliran berbeda tentang ukuran atau standart penilaian terhadap suatu tindakan, karena mempunyai sudut pandang yang berbeda. Misalnya hedonisme hanya memusatkan pada tuntutan pencapaian bentuk kenikmatan tubuh sebagai suatu hal yang baik atau benar, dan epicureanism yang memusatkan pada tuntutan spiritual dan emosional sebagai standart penilaian tindakan, sehingga keduanya mempunyai silang pendapat tentang ”ukuran kebenaran” dari tindakan (Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984) hlm. 147-149)

[11]  Ibid., hlm. 150

[12] Suatu standart kebenaran dalam tingkah laku pada ajaran Agama Yahudi dan Kristen (serta Islam) tidak berdasarkan pada pembenaran rasional ataukah pembenaran pada aspek perasaan. Hanya kemauan Tuhan terhadap apa-apa yang diinginkanNya untuk dilakukan manusia, sehingga manusia harus bertindak sesuai dengan keinginan Tuhan. (Ibid., hlm. 154)

[13] Fenomenologi diartikan sebagai as they are perceived from the first person perspective in the natural attitude atau sebuah pengalaman yang diterima oleh orang pertama dalam tindakan alaminya. (http://en.wikipedia.org/ wiki/Phenomenology_(philosophy(

[14] Kuasa tidak diartikan sebagai bentuk represif, melainkan produktif. Kuasa tidak diartikan sebagai suatu bentuk kesadaran yang harus dirobohkan melalui kesadaran. Dalam bahasa Foucault, ia hanya menggunakan kata ”body” untuk merujuk pada suatu bentuk gerak empiris dari tubuh manusia yang teratur, terkontrol, disiplin, dll. Dibalik Kontrol terhadap tubuh tersebut, ada ”suatu” yang bermain di situ, yaitu apa-apa yang kita nyatakan sebagai ”suatu hal yang benar”.  Dan apa yang kita sadari sebagai ”Suatu hal yang benar” tidak lebih dari tarik menarik diskursus antar kekuatan satu dengan kekuatan yang lainnya. (relasi antar kuasa). Kuasa atau Power tidak dikaitkan dengan politik, tetapi mempunyai cakupan yang sangat luas, apapun bentuk kuasa yang dapat mengontrol tubuh dinamakan sebagai Kuasa. Sehingga tidak hanya penguasa, melainkan juga tokoh agama, tuan, seorang bapak, pakar fiqh, sampai pegawai Tata Usaha sekalipun. Kata kunci untuk memahami Foucault sebagaimana yang dikatakan oleh Giovani Navarria bahwa Michael Foucault lebih memfokuskan pada hubungan antara suatu kondisi pola kontrol tubuh dan bentuk pengetahuan terhadapnya, misalnya saja munculnya keilmuan Psikiatri tidak pernah lepas dari bentuk-bentuk kemunculan rumah sakit jiwa, prosedur penyingkiran orang gila dalam masyarakat, aturan hukum dan aturan ketenagakerjaan (berdasarkan tulisan Giovanni Navarria, Michel Foucault’s theory of power, (http://www.johnkeane.net/pdf_docs/ teaching_sources/navar/foucault13032007.ppt) diakses pada tanggal 15 Juni 2009)

[15] Berdasarkan pada pernyataan Giovani Navarria: “Foucault uses the term governmentality to indicate the complex tactics, procedures and apparatuses that attempt to control and influence the conduct of individuals by using truth, knowledge, and political economy, rather than violence: in other words, the art of governing by fostering willing compliance in subjects, rather than achieving legitimacy through the help of brute force” , (http://www.johnkeane.net/pdf_docs/teaching_sources/navar/Foucault 13-03 2007.ppt) diakses pada tanggal 15 Juni 2009(

[16] Dalam pemikiran Psikoanalisa Freud, terdapat istilah mekanisme pertahanan. Istilah ini mengacu pada cara bertahan yang dimiliki oleh seseorang untuk menolak, mengalihkan ataupun memblokir energi instingtif. Mekanisme pertahanan ini bergerak di alam bawah sadar manusia. Salah satu mekanisme pertahanan alam bawah sadar adalah bentuk perilaku asketis. Dalam wujud keseharian perilaku ini diwujudkan dalam penolakan segala bentuk kenikmatan. Pada dasarnya bukan karena penghayatan akan kesucian, melainkan hal itu merupakan sebagai bentuk mekanisme perilaku untuk mendamaikan prinsip Id (nafsu) dan Superego. Suatu prinsip yang menghindarkan diri dari kecemasan berlebihan pada taraf ego (kesadaran). Gaya hidup ini (asketis) adalah gaya hidup a la pendeta, dan berkaitan dengan pencapaian spiritualitas. Oleh karena itu spiritualitas dalam pemikiran Psikoanalisa dipahami sebagai bentuk mekanisme pertahanan yang bergerak di luar kesadaran manusia itu sendiri. (Boeree, C. George. Personality theories, melacak kepribadian Anda bersamaPsikolog Dunia, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Prisma Sophie, Yogyakarta, 2005. hlm. 46)

[17] Dalam pemikiran Sigmund Freud, manusia diandaikan sebagai perkembangan spesies dimana bentuk perilaku instingtifnya merupakan dasar perilaku spesies. Kesadaran merupakan sebuah bentuk yang mempunyai peran sangat kecil dalam mempengaruhi karakter manusia. Semua bentuk kepribadian ditentukan oleh alam bawah sadar. ( Ibid., hlm. 37(

 

[18] Agama merupakan salah satu cara atau pola pandang terhadap dunia yang statis. Dimana agama ingin mereduksi realitas terhadap gambaran, dan tata gambaran tersebut tidaklah bermain dalam ruang hampa penguasaan. Deskripsi agama terhadap dunia, memungkinkan suatu bentuk pengetahuan konservatif untuk mempertahankan suatu kondisi masyarakat yang tetap. Agama hanya merupakan suatu alat untuk memberikan gambaran realitas palsu dan mengalihkan dari kesadaran bahwa hubungan masyarakat selama ini bukan hubungan fungsional dan harmonis, melainkan bentuk tatanan menindas. Agama merupakan sebuah bentuk ideologis, dimana bentuk ideologis bukan dihasilkan oleh konsensus atau bentuk komunikasi alami manusia melainkan sebuah bentuk distorted communication atau bentuk komunikasi terdistorsi.  Sedangkan ideologi adalah A set of ideas that structure a group’s reality, a system of representations or a code of meanings governing how individuals and groups see the world. Struktur cara berfikir ditentukan, tanpa disertai rasa kritis, dan mencegah penggunaan nalar /rasio untuk melakukan evaluasi terhadapnya, sedangkan kritik terhadap dominasi merupakan bentuk emansipatoris, sedangkan agama merupakan wilayah yang bebas dari kritik. Dalam pemikiran Habermas, pengetahuan kritis merupakan suatu bentuk pengetahuan yang dikonsepsikan yang memungkinkan manusia untuk mengemansipasi diri mereka dari bentuk dominasi melalui cara melakukan refleksi diri maupun mengambil metode psikoanalisa sebagai bagian dari paradigma pengetahuan.  (critical knowledge was conceptualized as knowledge that enabled human beings to emancipate themselves from forms of domination through self-reflection and took psychoanalysis as the paradigm of critical knowledge), Rauno Huttunen, Critical Theory And Habermas, (http://joyx.joensuu.fi/~rhuttun/habermas.ppt) diakses pada tanggal 25 Oktober 2008)

[19]  http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika