Selasa, 26 Januari 2010

FIQH DALAM KAJIAN FILSAFAT

BAB I

PENDAHULUAN


A.                    Latar Belakang

Kedudukan fiqh merupakan suatu kajian tentang penilaian suatu tindakan. Fiqh mengkaji apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah melalui lima hukum utama (haram, halal, wajib, sunnah, dan makruh). Menurut Ibn Kholdun fiqh adalah sebuah bentuk pengetahuan terhadap aturan Tuhan yang ditujukan kepada tingkah laku manusia  dimana mereka mesti harus taat kepada bentuk aturan tersebut yang meliputi wajib, haram, mandub, mubah dan makruh.(([1]

Oleh karena itu fiqh mengkaji hukum Tuhan untuk menentukan tinjauan terhadap bentuk perilaku manusia (muslim). Dalam permasalahan filsafat, tinjauan tentang bentuk tingkah laku manusia (moralitas) juga dibahas dan terfokuskan pada cabang filsafat Ethika. Cabang filsafat ini membicarakan tentang moralitas, atau pembahasan tentang arahan nilai bagi tindakan-tindakan. Ethika juga mencakup mempelajari tentang Apa yang benar atau salah dalam hubungan antar manusia.([2]) Sehingga ia juga mempelajari penilaian tentang tingkah laku manusia sebagaimana yang dipelajari dalam fiqh Islam.

Dalam perdebatan Filsafat kontemporer, penilaian atau pandangan tentang sesuatu dikaitkan dengan kesadaran. Suatu hal yang dianggap baik atau buruk ataupun segala sesuatu yang berkaitan dengan permasalahan pandangan dunia, acap dikaitkan dengan “bentuk kesadaran yang terkonstruksikan” oleh mekanisme kondisi sosial tertentu. Pembahasan tentang “kesadaran” ataupun “ideologi” acap dikaitkan dengan kesadaran palsu atau sebagai produk hubungan (relasi) manusia. Pemikiran Filsuf besar seperti Marx, Freud, maupun Foucault, tidak memandang suatu bentuk ideologi (sesuatu yang dianggap benar) sebagai suatu kebenaran, melainkan bentuk kesadaran  palsu. Bahkan dalam sebagian pemikiran Teori Kritis, ideologi (juga meliputi agama, dimana fiqh menjadi bagian dari “alat penjelas”nya) tak lebih dari sebuah bentuk dominasi yang harus dirobohkan dengan pemikiran kritis.(([3]

B.                    Rumusan Masalah :

A.                    Fiqh Sebagai Proses Pencarian Hukum Tuhan

B.                    Etika Sebagai Cabang Ilmu Filsafat Nilai Tindakan (Moral)

C.                    Kritik Terhadap Moralitas (Fiqh)

D.                    Fiqh Dalam Pendekatan Hermeneutika


BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Fiqh Sebagai Proses Pencarian Hukum Tuhan

 Fiqh merupakan kaedah yang dipakai ulama dalam menentukan suatu hukum. Fiqh mempelajari untuk menentukan bagaimana kehendak Tuhan yang disampaikan lewat ayat suci maupun perkataan utusanNya. Hal ini diasumsikan bahwa Tuhan mempunyai suatu otoritas dalam menentukan tingkah laku manusia, sehingga tingkah laku manusia dapat disesuaikan dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan disampaikan kepada Rasulnya dan melalui rasulNya itu, manusia dapat memahami dan mengerti apa-apa yang dikehendaki Tuhan untuk dikerjakan oleh manusia.

Tuhan Sang Pencipta Alam, mengutus seorang utusan kepada manusia. Ia membawa suatu misi menyampaikan risalah Tuhan untuk disampaikan kepada manusia, risalah tersebut berupa pengetahuan akan Tuhan, alam, manusia dan hari akhir. Selain memuat keterangan hal itu, Tuhan juga menghendaki manusia agar bertingkah laku sesuai dengan kehendakNya, oleh karena itu didalamnya juga terkandung hukum moral.(([4]

Untuk memahami hukum Tuhan tersebut, maka diperlukan beberapa kaedah pokok untuk menentukan benar atau salah di mata Allah. Beberapa kaedah tersebut meliputi tingkatan pengambilan hukum yaitu dengan merujuk langsung kepada Al Qur’an dan Sunnah, ataupun mengikuti Imam Syafi’i ada beberapa kaidah lain yang harus diperhatikan dalam menentukan sebuah hukum, yaitu  ijma’  atau ketetapan otoritas ulama, Qiyas, dan Istihsan.(([5]

Kaedah tersebut, bukanlah ditentukan oleh Sang Utusan (Nabi Muhammad) itu sendiri, melainkan dibentuk melalui semacam kesepakatan. Nabi hanya menyatakan bahwa Al Qur’an dan As Sunnah merupakan pedoman, tetapi tidak meninggalkan dengan cara bagaimana kita mesti menafsirkan al Qur’an ataupun dengan kaedah apa yang dipakai untuk mengambil darinya suatu hukum tersebut, tetapi para sahabat biasanya mengambil secara tekstual (pendekatan bayani) dalam menentukan suatu hukum, sebagaimana dipraktekkan pada zaman Nabi.

Ketika menyebarnya islam ke berbagai bangsa dan menghadapi perbedaan kultur dengan bangsa arab, maka ditemukan banyak suatu peristiwa yang memerlukan suatu ijtihad untuk menentukan suatu hukum. Maka diperlukan suatu studi tentang ushul fiqh, pada masa inilah fiqh mengalami suatu pertumbuhan dikarenakan suatu tuntutan zaman yang menghendaki adanya suatu kepastian moral. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, sesuai dengan potensi akal manusia, maka ditemukan banyak perbedaan dalam menetapkan suatu hukum. Perbedaan tersebut dikenal dengan Mahdzab (aliran) dengan nama aliran sesuai dengan ulama bersangkutan.([6])

 

B.      Etika Sebagai Cabang Ilmu Filsafat Nilai Tindakan (Moral)

Filsafat merupakan studi tentang permasalahan dengan menggunakan suatu pemikiran kritis, mendalam/radikal, koheren, universal tentang segala sesuatu. Ia berusaha mempertanyakan hakekat segala sesuatu dengan mempertanyakan, menyelidiki, serta mencari suatu kebenaran([7]) yang meliputi eksistensi, pengetahuan, keindahan, keadilan, kebenaran, validitas pengetahuan, fikiran dan bahasa.(([8]

Dalam memikirkan hakekat dari segala sesuatu tersebut, maka banyaknya hal yang berbeda dalam realitas, maka pembahasan tentang hakekat segala sesuatu tersebut, dibagi dalam beberapa bidang untuk lebih memudahkan suatu penyelidikan. Maka dalam filsafat ada cabang-cabangnya, yang meliputi; metafisika, logika, dan epistemologi.([9])

Dari beberapa bidang tersebut, suatu cabang filsafat yang mempelajari tentang hakekat tindakan manusia dibahas dalam bidang etika. Dalam cabang filsafat, kita mempertanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan ”bagaimana suatu tindakan itu dibenarkan/mungkin”  atau melalui standart apa suatu tindakan itu dianggap sebagai suatu hal yang benar. Darinya lalu dirumuskan beberapa asumsi, misalnya yang menyatakan bahwa tindakan dikatakan benar sejauh mana tindakan itu membawa pada kenikmatan, sedangkan yang lain menyatakan sejauh tindakan itu bermanfaat. Sehingga dari sini, timbullah beberapa aliran dalam ethika.([10])

Aliran etika tersebut meliputi hedonisme, sebagaimana sudah dikemukakan di muka, aliran ini meletakkan ukuran baik dan buruk tergantung pada apakah suatu tindakan tersebut mampu mendatangkan kenikmatan. Aliran yang lain adalah aliran stoisme (Stoic) dimana meletakkan kebajikan pada kepuasan emosional dan spiritual. Pandangan terhadap moralitas tersebut didasarkan pada tujuan apa yang terkandung dalam suatu bentuk tindakan untuk menentukan benar atau salahnya suatu tindakan.

Hal ini merupakan suatu hal yang logis, karena manusia dihadapkan pada situasi untuk menentukan arahan moral. Situasi tersebut menuntut manusia untuk segera merealisasikannya. Yaitu kebutuhan fisik (yang meliputi makan, minum, dan seksual), kebutuhan emosional (ketenangan, kearifan, kedamaian, dsb), kebutuhan sosial (kerjasama, interaksi sosial, komunikasi dll), dan kebutuhan spiritual. Kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu direalisasikan dalam kehidupan yang nyata, sehingga ada beberapa bentuk tindakan yang dinilai berdasarkan pada tujuan-tujuan perealisasian dari kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Sedangkan dalam pemikiran Kant, suatu hal yang baik atau buruk sudah ditentukan, sehingga kebaikan merupakan suatu prinsip yang bersifat transendental tanpa meliputi tujuan. Kebajikan merupakan suatu yang di luar situasi kemanusiaan dan tidak berhubungan dengan tujuan perealisasian tujuan-tujuan atau perealisasian dari tuntutan manusiawi sebagaimana hal diatas, melainkan merupakan suatu hal yang inhern pada manusia. Kant memberikan isitlah suatu bentuk moral yang inhern tersebut dengan istilah Imperatif Categoris.([11])

Etika dalam sudut pandang Agama Abrahamik dinisbahkan kepada Tuhan. Bahwa Tuhan menciptakan nilai di luar perspektif manusia, yang darinya manusia mesti bertindak dan mampu membedakan antara tindakan yang baik untuk dilaksanakan dan tindakan yang buruk untuk dicegah. Etika dalam pandangan agama Abrahamik, berbeda dengan konsep etika sebagaimana yang disebutkan dalam filsuf tersebut. Agama Abrahamik tidak memberikan tujuan tindakan bagi perealisasian kebutuhan manusia, melainkan sebagai suatu nilai dari Tuhan melalui konsep pewahyuan. Sehingga wahyu merupakan suatu hal yang pokok untuk memberikan arahan penilaian tentang moralitas.([12])

Dalam sub bab ini, maka kesimpulannya adalah bahwa fiqh merupakan bentuk pencarian ketentuan moralitas berdasarkan pada salah satu sudut pandang keagamaan Abrahamik (Islam), melalui perujukan pada wahyu (sebagaimana dalam tradisi Yahudi dan Nasrani). Dimana perujukannya kepada wahyu terdapat beberapa metode untuk menentukan mana yang benar atau salah dalam memberikan penilaian terhadap suatu perbuatan (Istinbath) yang dikenal dalam istilah fiqh.

Dalam perkembangan selanjutnya terdapat pendekatan-pendekatan yang tidak selalu bersifat tekstual melainkan juga pendekatan fenomenologis. Pendekatan ini mengacu pada bagaimana agama mampu dirasakan secara langsung dalam pengalaman beragama.([13]) Tetapi, baik pendekatan fenomenologis maupun tekstual, sama-sama mengasumsikan bahwa nilai itu terletak pada Tuhan, sehingga tugas manusia itu menggalinya dengan merujuk pada wahyu yang tertulis melalui kitab suci maupun melalui pengalaman keberagamaan manusia atau religious experience, sebagaimana dalam tradisi tasawuf yang cenderung memakai pendekatan fenomenologis dalam menentukan pemahaman keagamaan.

 

  1. Kritik Terhadap Moralitas (Fiqh)

1. Kritik Foucault-ian

Dalam kajian moralitas dalam sudut pandang Michael Foucault, moralitas dianggap sebagai suatu Kuasa. Kuasa yang mengatur, mendisiplinkan, serta mengontrol tubuh. Tubuh disiplinkan lewat gereja, sekolah, rumah sakit jiwa, penjara, dsb. Tubuh merupakan sebuah organ pasif yang menerima proses obyektivasi atas dirinya. Tubuh akan menerima hukuman apabila ia tidak disiplin.

Dalam pemikiran Michael Foucault ada hal yang perlu diperhatikan, bahwa dalam pemikirannya, subyek (manusia) bukanlah seorang yang mampu berfikir secara mandiri ataupun mampu mendasarkan diri pada tindakan sadarnya. Melainkan apa yang ia fikirkan atau apa yang ia lakukan adalah produk dari struktur sosial, epistemologi, ataupun apa yang ia sadari sebagai suatu kebenaran tak lebih dari produk kuasa yang bermain dalam ruang lingkup diskursus. Begitu juga permasalahan makna, pengalaman, fikiran dan Kebenaran tak lebih dari produk kuasa yang memberi identitas kepada kita. Suatu bentuk pandangan terhadap dunia bersifat given. Sehingga dalam pemikiran Michael Foucault tidak dijumpai bentuk pemikiran Kritis Emansipatoris sebagaimana kita temukan dalam teori Kritis Mahdzab Frankfurt misalnya.([14])

Melalui gereja, tubuh diajarkan untuk bersikap lembut, menyelaraskan aturan, mematuhi hukum dan tubuh harus tunduk di bawah tuntutan normatif. Begitu juga tubuh harus dilatih, agar ia dapat terampil. Agar dapat terampil, maka tubuh perlu disekat dalam ruangan yang dipisahkan. Individu harus disiplin, dan siap menghadapi tugas yang akan diembannya setelah tubuh itu dilatih melalui ruang kelas. Tubuh juga perlu dibagi-bagi. Tubuh yang terampil dan tubuh yang tidak terampil, tubuh yang tidak terampil maka tubuh itu diberikan imbalan yang sedikit. Sedangkan tubuh yang terampil, maka ia perlu ditempatkan pada tingkat yang tinggi. Mesti diatur berdasarkan pada ketrampilan atau fungsi tubuh, serta kekuatan tubuh itu, karena tingkat kemampuan tubuh berbeda-beda.

Disiplin, kontrol, pengawasan, dan pengaturan pada tubuh itulah dilakukan oleh Kuasa (Power). Power tersebut meliputi bagaimana suatu bentuk kontrol terhadap tubuh itu menjadi mungkin. Hubungan timbal balik antara apa yang dianggap benar dan mekanisme kuasa atau mekanisme yang didalamnya “rezim politik berkuasa” dinamakan sebagai genealogi. Pendekatan foucault menegaskan bahwa suatu normativitas yang disepakati, baik itu berupa hati nurani atau panggilan hati, ide tentang moralitas baik, norma adat istiadat dsb semuanya merupakan bentuk identitas subyek historis. Ia ada karena konstruk hubungan timbal balik antara manusia, yang dipertahankan, atau diubah untuk mengontrol tubuh manusia untuk disiplin.

Pendekatan ini apabila dikaitkan dengan fiqh menjadi fiqh sebagai pengatur, alat kontrol, pengawas, dan pendisiplinan terhadap tubuh. Tubuh tidak boleh begini dan begitu, tubuh harus bersama di suatu ruangan (masjid), dan kenikmatan tubuh seksual diatur. Norma inilah yang ditekankan dan dijadikan pedoman bagi tubuh untuk mengatur serta mengawasinya. Norma ini (fiqh) menjadikan tubuh secara berjenjang menjadi orang yang berkuasa mengawasi dan mengontrol (ulama) dan tubuh yang dikontrol (awam), tapi di sisi lain, tubuh-tubuh itu untuk disiplin dalam suatu pola sikap tertentu.

Dalam pendekatan Foucault, mekanisme kuasa (power) atau kekuatan dalam pengaturan tubuh, tidaklah bersifat represif. Ia bersifat produktif, ia menjadikan tubuh disiplin, menjadikan wacana, memproduksi pengetahuan serta mendistribusikan nilai. Fiqh merupakan bentuk pengetahuan yang diproduksi dalam suatu bentuk relasi antar tubuh, berdasarkan pada kesepakatan yang dibuat sebelumnya (ijma’ terdahulu), dan menghasilkan pengetahuan baru (ijtihad yang baru), dan pengetahuan yang baru itu didistribusikan kepada tubuh yang lain, untuk mengontrol dan mengawasi yang lain. Foucault menyebut sifat bentuk Kuasa sebagai governmentality. Bentuk Kuasa tersebut lebih cenderung untuk menggunakan bentuk strategi, prosedur, ataupun penggunaan pihak-pihak (agen) yang berusaha untuk melakukan kontrol ataupun pengaruh dalam bentuk tingkah laku dengan menggunakan sarana pengetahuan, Kebenaran, dan kebijakan ekonomi dan politik.daripada penggunaan kekerasan. Sistem Kuasa ditunjang dengan seni kepemimpinan dengan menghendaki adanya kerelaan subyek yang dipimpin daripada penggunaan bentuk kekuasaan.([15])

Mekanisme kuasa itu menyebar, ulama, guru, ustadz, guru TPA, orang tua, sampai laskar FPI. Mereka mempunyai kuasa untuk mengontrol dan mengawasi bagaimana tubuh tetap disiplin serta memberikan hukuman pada tubuh yang tidak disiplin. Oleh karena itu kuasa itu bukan kuasa yang terpusat, tetapi kuasa itu menyebar. Sehingga tak hanya lembaga agama, tetapi semua bentuk Kuasa.

 

 2. Kritik Freud-ian

kritik ini mendasarkan diri pada kritik terhadap ”kesadaran akan kebenaran”. Apa yang dianggap benar, merupakan hasil ilusi, ia bukan lah realitas nyata yang diyakini di luar persepsi manusia. Tuhan, Agama, Jalan Keselamatan (Syari’ah), ritual, merupakan suatu bentuk dari gejala penyakit neurosis, suatu gejala dimana tindakan tidak dilakukan berdasarkan pilihan yang rasional tetapi terus dikerjakan dan terpaksa diulangi secara terus menerus, serta menguatkan ilusi tetnang adanya sesuatu di luar sana yang mempunyai kekuatan tertinggi.

Apa yang dialami dalam pengalaman keberagamaan tidak lebih dari suatu ekspresi dari tubuh, untuk menolak ketidaknyamanan atau ketidakmampuan manusia, sehingga secara tidak sadar (digerakkan oleh alam bawah sadar), untuk mencari sosok yang darinya, emosi kita dapat tenang karena merepresentasikan tentang sosok ayah. Sosok yang melindungi kita serta memberikan rasa nyaman kepada kita. Kebenaran agama bukanlah kebenaran mutlak, ia merupakan halusinatif. Ia merintangi seorang untuk berfikir sehat, dan dapat hidup secara otentik, serta darinya dapat mengekspresikan kemampuan total. Apa yang dilakukan oleh agama adalah melakukan terbaik untuk tuhan, ia tidak hidup dalam dunianya yang kongkret, ia tetap sibuk pada ketidaksadarannya.([16])

Kesadaran manusia hanyalah merupakan bagian terkecil yang menentukan pribadi, pilihan hidup, serta penentuan akan tindakan. Tindakan manusia sebagian terbesar ditentukan oleh alam bawah sadar kita, termasuk pada tindakan dalam melakukan tindakan beragama. ([17] )

Tindakan beragama merupakan bagian dari mekanisme pertahanan diri manusia bagaimana untuk menyelaraskan atau mendamaikan antara prinsip Id dan Superego. Instink manusia itu meliputi dua hal, yaitu: insting hidup (makan, hidup dan seksual) dan insting mati (dorongan agresif). Keduanya ditekan melalui suatu cara agar dapat melindungi individu dari kecemasan yang berlebih. Cara yang digunakannya adalah selalu menolak insting tersebut, memalsu, memutarbalikkan, ataupun mengubah perspepsi.

Hal ini berarti keinginan untuk melakukan seks bebas dan keinginan untuk menyerang orang lain sebagai watak dasar spesies yang selalu memperebutkan sumber pemuasan instingtual. insting tersebut ada pada manusia, tetapi ia ditekan. Dan sarana penekanannya (sebagai mekanisme pertahanan diri) adalah agama. Kedudukan fiqh dalam kritik Freudian adalah fiqh merupakan suatu praktek yang didasarkan pada penghindaran pada prinsip kebebasan, ia adalah suatu praktek untuk memproduksi mekanisme pertahanan secara bersama-sama. Kritik ini mempunyai bentuk materialisme, dimana agama direduksi menjadi sebuah mekanisme pertahanan dari libido atau energi instingtual.

 

 3. Paradigma Kritis

Kritik ini biasanya diarahkan pada agama sebagai suatu yang bersifat konservatif, jumud anti perubahan, memproduksi kesadaran palsu, serta memanipulasi kesadaran manusia. Agama, melalui fiqh, menyediakan perangkat ide dan didokrtinkan pada tiap individu dalam suatu kultur, dan memberikan suatu gambaran tentang gambaran realitas untuk diyakininya. Fiqh dalam hal ini merupakan sebagai bentuk aparatus yang memberikan suatu gambaran tentang realitas, dan gambaran realitas itulah diberikan secara taken for granted melalui proses sosialisasi dan internalisasi.

Paradigma kritis selalu melihat ”gambaran tentang realitas” (ideologis) yang dibentuk oleh agama ataupun budaya, secara dialektik. Bahwa semua gambaran tersebut dihasilkan oleh suatu proses yang sifatnya dinamis dan dibentuk melalui relasi-relasi sosial yang tidak berimbang. Paradigma ini menegaskan bahwa ”pandangan dunia:” tidaklah hadir dari ruang hampa, melainkan dibentuk oleh sebuah hegemoni atau semacam konsensus dimana kelas atas banyak yang berperan untuk menentukan kesadaran manusia. Dan sebagai sebentuk konsensus ideologi bukanlah suatu hal yang bersifat statis, sempurna dan sakral, melainkan terus berubah.([18])

Fiqh merupakan bagian dari fungsi keagamaan, yang berfungsi sebagai praktek diskursus untuk menentukan gambaran tentang dunia, dan darinya dapat diberikan suatu bentuk kesadaran terhadap individu tentang apa itu dunia dan harus bagaimana ktia dengan dunia ini. agama hanyalah sebuah superstruktur kesadaran yang dibentuk dari infrasutruktur ekonomi, ia tercipta melalui relasi atau hubungan antar manusia. Ia hanya seperangkat norma dan nilai yang digunakan untuk melegalkan sistem sosial.

 

  1. Fiqh Dalam Pendekatan Hermeneutika

Apa yang disebutkan diatas merupakan bentuk kritik terhadap moralitas dan agama, termasuk fiqh. Beragam kritik tersebut berangkat dari asumsi yang digunakannya untuk melakukan langkah kritis terhadap moral dan agama. Foucault menekankan relasi antara Tubuh, Kuasa dan Pengetahuan. Sehingga Fiqh dapat direduksi pada bentuk pengetahuan, yang dihasilkan oleh diskursus, untuk memproduksi pengetahuan dan darinya mampu menciptakan suatu bentuk kedisiplinan terhadap tubuh.

Sedangkan Freud, melihat agama dari fungsi mekanisme pertahanan manusia untuk menyesuaikan tuntutan Id (instingtual) dan Superego (Kekangan) sehingga mampu terhindarkan dari kecemasan. Sedangkan kritik terhadap fiqh dari kacamata paradigma kritis, adalah bahwa paradigma kritis menggunakan asumsi bahwa teori yang bermakna merupakan teori yang mampu menghasilkan tindakan pembebasan manusia dari belenggu. Fiqh dianggap sebagai suatu teori yang tidak bermakna selama fiqh tidak menghasilkan suatu manfaat bagi gerakan pembebasan. Sehingga banyak pemikir, memasukkan asumsi paradigma kritis ini dalam pemikiran keagamaan mereka.

Cara pembacaan fiqh juga beragam apabila dilakukan peninjauan melalui sudut pandang hermeneutika. Fiqh merupakan suatu bentuk cara pembacaan terhadap teks, dan cara pembacaan terhadap teks tersbeut, ada beberapa metode (sesuai dengan aliran hermeneutika)

  1. aliran klasik (hermeneutika teoritis), meninjau teks untuk menemukan makna sesungguhnya dengan melakukan peninjauan kontekstual masa lalu penulisan atau dalam kasus al qur’an dengan mengetahui bagaimana sebuah teks itu dihasilkan oleh kultur
  2. aliran hermeneutika filosofis, lebih menekankan makna filosofis dari pembacaan teks. Yaitu bahwa pembacaan teks berarti suatu proses dialog antara pembaca dan teks untuk menemukan makna yang baru, bukan makna sesuai dengan penulis teks/

3.      aliran kritis, lebih menekankan tentang kepentingan-kepentingan yang ada pada penulisan teks. Karena teks (sebagaimana tuturan dalam Speech Act) tidak pernah lepas dari kepentingan.([19])

Sedangkan tambahan lagi adalah :

4.      Pendekatan Emilio Betti, yaitu metode penafsiran, terutama pada kitab suci, yaitu untuk menemukan suatu nilai umum pada masa lalu (ketika teks ditulis) untuk dibawa pada masa kini.

Beragam cara menafsirkan tersebut juga termuat dalam kajian fiqh masa kini. Tetapi secara umum model penafsiran pertama dan terakhir serta cara baca tekstualist, merupakan suatu hal yang umum dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci, termasuk bagaimana kita menentukan suatu hukum dalam al Al Qur’an tentang tingkah laku atau fiqh. Kajian fiqh tidak pernah lepas dari pendekatan bayani, bukan penafsiran fenomenologis atau model penafsiran yang meletakkan pengalaman keberagamaan (irfani) sebagai model pendekatan penafsiran.

 

BAB III

Kesimpulan

 

Agama dalam studi kefilsafatan diletakkan dalam posisi sebagai obyek ”penderita”. Agama yang selama ini dianggap sebagai suatu hal yang sakral, serta mempunyai pandangan yang dipercaya sebagai suatu hal yang valid yang menggambarkan seluruh realitas, manusia, dan hari depan, dilakukan peninjauan dengan membuang sikap takjub dan hormat padanya. Hal ini dikarenakan sifat dari filsafat sendiri memiliki sifat kritis dan menyangkut bentuk perenungan atau memikirkan sesuatu sampai tingkat sedalam-dalamnya. Sehingga kajian terhadap agama, ataupun tinjauan agama yang dipelajari melalui fiqh, tidak lebih dari obyek lain yang tidak mempunyai sifat yang sakral apabila dikaitkan dengan rasio.

 

 

Daftar Pustaka :

a.      Hardiman, Fransisco Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004)

b.      Boeree, C. George. Personality theories, melacak kepribadian Anda bersamaPsikolog Dunia, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Prisma Sophie, Yogyakarta, 2005.

c.       Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984)

d.      Thaha Jabir Al ‘Alwani, Ushul Al Fiqh Al Islami

e.      http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika

 

 

 

 

 

 

 



[1]  The historian Ibn Khaldun describes fiqh as “knowledge of the rules of God which concern the actions of persons who own themselves bound to obey the law respecting what is required (wajib), forbidden (haraam), recommended (mandūb), disapproved (makruh) or merely permitted (mubah)” (http://en.wikipedia.org/wiki/Fiqh, diakses pada tanggal 11 Oktober 2008)

[2]  Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984) hlm. 21

[3] Yang terpokok adalah bagaimana manusia dapat membebaskan diri dari semua belenggu, termasuk belenggu keagamaan (Hardiman, Fransisco Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 153

[4] Ada ketersinambungan (persamaan) antara bentuk kepercayaan antara Yahudi, Kristen dan Islam. Ketiganya mengasumsikan adanya pola hubungan Tuhan, Alam, Manusia dan wahyu. Dimana Tuhan menjadikan semua alam manusia dan apa-apa didalamnya, serta menjadikan manusia sebagai makhluk paling sempurna dan kepada mereka diberikan wahyu sebagai petunjuk tentang semua bentuk kebenaran. Selain itu mereka juga dijanjikan akan bentuk hari akhir yang baik (surga) apabila mereka mematuhi perintah Tuhan (Harold H. Titus, dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat, hlm. 422)

[5] Thaha Jabir Al ‘Alwani, Ushul Al Fiqh Al Islami: Source Methodology In Islamic Jurisprudence: Methodology For Research And Knowledge (http://www.usc.edu/dept/MSA/law/alalwani_usulalfiqh/ index.html) Chapter Four: Al Imam Al Shafi’i

[6] Thaha Jabir Al ‘Alwani, Ushul Al Fiqh Al Islami: Source Methodology In Islamic Jurisprudence: Methodology For Research And Knowledge, Chapter Three: Legislation After The Time Of The Sahabah

[7] Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984) hlm. 15

[8] Dalam wikipedia istilah ruang lingkup filsafat: Philosophy is the study of general problems concerning matters such as existence, knowledge, truth, beauty, justice, validity, mind, and language (http://en.wikipedia.org /wiki/Philosophy, diakses pada tanggal 15 Juni 2009)

[9] Dalam bukunya Harold H. Titus menyatakan bahwa cabang filsafat meliputi: Logika, Etika, Epistemologi, dan Metafisika (Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984) hlm. 18-22)

[10] Ukuran-ukuran ethika atau dengan standart ethika apa suatu perbuatan itu dianggap sebagai suatu hal yang benar/baik atau salah/buruk didasari pada suatu pertimbangan berdasarkan tuntutan situasi yang menelingkupi kondisi manusia. Seperti tuntutan seksual, makan, minum, bentuk spiritual, ketenangan emosional dll. Sehingga bentuk tindakan yang terarah pada pencapaian tuntutan tersebut dianggap sebagai suatu standart untuk menilai suatu bentuk tindakan. Misalnya aliran Hedonisme, Epicureanism, Utilitarianism, merupakan aliran berbeda tentang ukuran atau standart penilaian terhadap suatu tindakan, karena mempunyai sudut pandang yang berbeda. Misalnya hedonisme hanya memusatkan pada tuntutan pencapaian bentuk kenikmatan tubuh sebagai suatu hal yang baik atau benar, dan epicureanism yang memusatkan pada tuntutan spiritual dan emosional sebagai standart penilaian tindakan, sehingga keduanya mempunyai silang pendapat tentang ”ukuran kebenaran” dari tindakan (Titus, Harold H. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM Rasyidi, (Jakarta: Bulan  Bintang,  1984) hlm. 147-149)

[11]  Ibid., hlm. 150

[12] Suatu standart kebenaran dalam tingkah laku pada ajaran Agama Yahudi dan Kristen (serta Islam) tidak berdasarkan pada pembenaran rasional ataukah pembenaran pada aspek perasaan. Hanya kemauan Tuhan terhadap apa-apa yang diinginkanNya untuk dilakukan manusia, sehingga manusia harus bertindak sesuai dengan keinginan Tuhan. (Ibid., hlm. 154)

[13] Fenomenologi diartikan sebagai as they are perceived from the first person perspective in the natural attitude atau sebuah pengalaman yang diterima oleh orang pertama dalam tindakan alaminya. (http://en.wikipedia.org/ wiki/Phenomenology_(philosophy(

[14] Kuasa tidak diartikan sebagai bentuk represif, melainkan produktif. Kuasa tidak diartikan sebagai suatu bentuk kesadaran yang harus dirobohkan melalui kesadaran. Dalam bahasa Foucault, ia hanya menggunakan kata ”body” untuk merujuk pada suatu bentuk gerak empiris dari tubuh manusia yang teratur, terkontrol, disiplin, dll. Dibalik Kontrol terhadap tubuh tersebut, ada ”suatu” yang bermain di situ, yaitu apa-apa yang kita nyatakan sebagai ”suatu hal yang benar”.  Dan apa yang kita sadari sebagai ”Suatu hal yang benar” tidak lebih dari tarik menarik diskursus antar kekuatan satu dengan kekuatan yang lainnya. (relasi antar kuasa). Kuasa atau Power tidak dikaitkan dengan politik, tetapi mempunyai cakupan yang sangat luas, apapun bentuk kuasa yang dapat mengontrol tubuh dinamakan sebagai Kuasa. Sehingga tidak hanya penguasa, melainkan juga tokoh agama, tuan, seorang bapak, pakar fiqh, sampai pegawai Tata Usaha sekalipun. Kata kunci untuk memahami Foucault sebagaimana yang dikatakan oleh Giovani Navarria bahwa Michael Foucault lebih memfokuskan pada hubungan antara suatu kondisi pola kontrol tubuh dan bentuk pengetahuan terhadapnya, misalnya saja munculnya keilmuan Psikiatri tidak pernah lepas dari bentuk-bentuk kemunculan rumah sakit jiwa, prosedur penyingkiran orang gila dalam masyarakat, aturan hukum dan aturan ketenagakerjaan (berdasarkan tulisan Giovanni Navarria, Michel Foucault’s theory of power, (http://www.johnkeane.net/pdf_docs/ teaching_sources/navar/foucault13032007.ppt) diakses pada tanggal 15 Juni 2009)

[15] Berdasarkan pada pernyataan Giovani Navarria: “Foucault uses the term governmentality to indicate the complex tactics, procedures and apparatuses that attempt to control and influence the conduct of individuals by using truth, knowledge, and political economy, rather than violence: in other words, the art of governing by fostering willing compliance in subjects, rather than achieving legitimacy through the help of brute force” , (http://www.johnkeane.net/pdf_docs/teaching_sources/navar/Foucault 13-03 2007.ppt) diakses pada tanggal 15 Juni 2009(

[16] Dalam pemikiran Psikoanalisa Freud, terdapat istilah mekanisme pertahanan. Istilah ini mengacu pada cara bertahan yang dimiliki oleh seseorang untuk menolak, mengalihkan ataupun memblokir energi instingtif. Mekanisme pertahanan ini bergerak di alam bawah sadar manusia. Salah satu mekanisme pertahanan alam bawah sadar adalah bentuk perilaku asketis. Dalam wujud keseharian perilaku ini diwujudkan dalam penolakan segala bentuk kenikmatan. Pada dasarnya bukan karena penghayatan akan kesucian, melainkan hal itu merupakan sebagai bentuk mekanisme perilaku untuk mendamaikan prinsip Id (nafsu) dan Superego. Suatu prinsip yang menghindarkan diri dari kecemasan berlebihan pada taraf ego (kesadaran). Gaya hidup ini (asketis) adalah gaya hidup a la pendeta, dan berkaitan dengan pencapaian spiritualitas. Oleh karena itu spiritualitas dalam pemikiran Psikoanalisa dipahami sebagai bentuk mekanisme pertahanan yang bergerak di luar kesadaran manusia itu sendiri. (Boeree, C. George. Personality theories, melacak kepribadian Anda bersamaPsikolog Dunia, terj. Inyiak Ridwan Muzir, Prisma Sophie, Yogyakarta, 2005. hlm. 46)

[17] Dalam pemikiran Sigmund Freud, manusia diandaikan sebagai perkembangan spesies dimana bentuk perilaku instingtifnya merupakan dasar perilaku spesies. Kesadaran merupakan sebuah bentuk yang mempunyai peran sangat kecil dalam mempengaruhi karakter manusia. Semua bentuk kepribadian ditentukan oleh alam bawah sadar. ( Ibid., hlm. 37(

 

[18] Agama merupakan salah satu cara atau pola pandang terhadap dunia yang statis. Dimana agama ingin mereduksi realitas terhadap gambaran, dan tata gambaran tersebut tidaklah bermain dalam ruang hampa penguasaan. Deskripsi agama terhadap dunia, memungkinkan suatu bentuk pengetahuan konservatif untuk mempertahankan suatu kondisi masyarakat yang tetap. Agama hanya merupakan suatu alat untuk memberikan gambaran realitas palsu dan mengalihkan dari kesadaran bahwa hubungan masyarakat selama ini bukan hubungan fungsional dan harmonis, melainkan bentuk tatanan menindas. Agama merupakan sebuah bentuk ideologis, dimana bentuk ideologis bukan dihasilkan oleh konsensus atau bentuk komunikasi alami manusia melainkan sebuah bentuk distorted communication atau bentuk komunikasi terdistorsi.  Sedangkan ideologi adalah A set of ideas that structure a group’s reality, a system of representations or a code of meanings governing how individuals and groups see the world. Struktur cara berfikir ditentukan, tanpa disertai rasa kritis, dan mencegah penggunaan nalar /rasio untuk melakukan evaluasi terhadapnya, sedangkan kritik terhadap dominasi merupakan bentuk emansipatoris, sedangkan agama merupakan wilayah yang bebas dari kritik. Dalam pemikiran Habermas, pengetahuan kritis merupakan suatu bentuk pengetahuan yang dikonsepsikan yang memungkinkan manusia untuk mengemansipasi diri mereka dari bentuk dominasi melalui cara melakukan refleksi diri maupun mengambil metode psikoanalisa sebagai bagian dari paradigma pengetahuan.  (critical knowledge was conceptualized as knowledge that enabled human beings to emancipate themselves from forms of domination through self-reflection and took psychoanalysis as the paradigm of critical knowledge), Rauno Huttunen, Critical Theory And Habermas, (http://joyx.joensuu.fi/~rhuttun/habermas.ppt) diakses pada tanggal 25 Oktober 2008)

[19]  http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika

DINASTI AGHLABIYAH

Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang berkuasa
selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M). Wilayah kekuasaannya meliputi Ifriqiyah,
Algeria dan Sisilia. Dinasti ini didirikan oleh Ibnu Aghlab (Mufradi, 1997:116). Para
penguasa Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah adalah sebagai berikut :
1. Ibrahim I ibn al-Aghlab (800-812 M)
2. Abdullah I (8l2-817 M)
3. Ziyadatullah (817-838 M)
4. Abu ‘Iqal al-Aghlab (838-841 M)
5. Muhammad I(841-856 M)
6. Ahmad (856-863 M)
7. Ziyadatullah (863- M)
8. Abu Ghasaniq Muhammad II (863-875 M)
9. Ibrahim II (875-902 M)
10. Abdullah II (902-903 M)
11. Ziyadatullah III (903-909 M)
Aghlabiyah memang merupakan Dinasti kecil pada masa Abbasiyah, yang para
penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehingga Dinasti tersebut
dinamakan Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti tersebut yaitu ketika Baghdad di
bawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara, terdapat dua bahaya
besar yang mengancam kewibawaannya. Pertama dari Dinasti Idris yang beraliran Syi’ah
dan yang kedua dari golongan Khawarij.
Dengan adanya dua ancaman tersebut terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk
menempatkan balatentaranya di Ifrikiah di bawah pimpinan Ibrahim bin Al-Aghlab. Setelah
berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab mengusulkan kepada
Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut dihadiahkan kepadanya dan anak keturunannya
secara permanen. Karena jika hal itu terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan dan
memerintah wilayah tersebut, akan tetapi juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya
sebesar 40.000 dinar. Harun ar-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti
kecil (Aghlabiyah) yang berpusat di Ifrikiah yang mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun
demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad (Hoeve,1994: 65).
Pendiri Dinasti ini adalah Ibrahim ibn al-Aghlab pada tahun 800 M. Pada tahun itu
Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun al-Rasyid sebagai imbalan
atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan meliputi hak-hak otonom yang besar
(Bosworth,1980:.46). Untuk menaklukkan wilayah baru dibutuhkan suatu proses yang
panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyyah yang sifatnya adalah
pemberian.
Dinasti Aglabiyah berkuasa kurang lebih dari satu abad, mulai dari tahun 800-909 M.
Nama Dinasti Aglabiyah ini diambil dari nama ayah Amir yang pertama, yaitu Ibrahim bin
al-Aglab. Ia adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer Abbasiyah. Pada tahun 800 M.
Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir) di Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid.
Karena ia sangat pandai menjaga hubungan dengan Khalifah Abbasiyah seperti membayar
pajak tahunan yang besar, maka Ibrahimi I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hakhak
otonomi yang besar seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya
tanpa campur tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh
antara Afrika Utara dengan Bagdad. Sehingga Aglabiyah tidak terusik oleh pemerintahan
Abbasiyah.
Pemerintahan Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak yang muncul dari
Kharijiyah Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah Ziyadatullah I, Aglabiyah dapat
merebut pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu Sisilia dari tangan Byzantium 827 M,
dipimpin oleh panglima Asad bin Furat, dengan mengerahkan panglima laut yang terdiri
dari 900 tentara berkuda dan 10.000 orang pasukan jalan kaki. Inilah ekspedisi laut
terbesar. Ini juga peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad karena itu, ia
meninggal dalam pertempuran. Selain untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap
Sicilia juga bertujuan untuk berjihad melawan orang-orang kafir. Wilayah tersebut menjadi
pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa Kristen.
Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautnya yang
menjelajahi pulau-pulau di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai Italia
Selatan, Sardinia, Corsica, dan Alpen. Selain itu juga berhasil menaklukan kota-kota pantai
Itali, Brindisi, Napoli, Calabria, Totonto, Bari, dan Benevento. Dan pada tahun 868 M,
mampu menduduki Malpa. Dengan berhasilnya penaklukan-penaklukan di atas Dinasti
Aghlabiyah menjadi Dinasti yang kaya, sehingga para penguasa Aghlabiyah antusias dalam
bidang pembangunan.
Keberhasilan penguasaan seluruh pulau Sisilia inilah yang membuat Aglabiyah
unggul di Mediterania Tengah. Kemudian Aglabiyah melanjutkan serangan-serangannya ke
pulau lainnya dan pantai-pantai di Eropa, termasuk berhasil menaklukan kota-kota pantai
Italia Brindisi (836/221 H.) Napoli (837M), Calabria (838 M), Toronto (840 M ), Bari (840 M),
dan Benevento (840 M). Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari
pasukan Aghlabiyah pada Bandar-bandar Itali, termasuk kota Roma, maka Paus Yonanes
VIII (872– 840 M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak
25.000 uang perak pertahun kepada Aglabiyah.
Pasukan Aglabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (890 M),
Pulau Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan mengusai kota
Portofino di pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani-pun berada dalam jangkauan
penyerangan mereka.
Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aglabiyah
kaya raya, para penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia. Ziyadatullah I
membangun masjid Agung Qairuan, sedangkan Amir Ahmad membangun masjid Agung
Tunis dan juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak
cukup itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di
Tunisia Selatan, yang tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan arsitektur,
ilmu, seni dan kehidupan keberagamaan.
Selain sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah, Qoiruan juga sebagai pusat penting
munculnya mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti Sahnun
yang wafat (854 M) pengarang mudawwanat, kitab fiqih Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat
(901 M), Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim, wafat (908 M).
Karya-karya para ulama-ulama pada masa Dinasti Aghlabiyah ini tersimpan baik di Masjid
Agung Qairuan.
1. Langkah-langkah Pemimpin Aghlabiyah
a. Penguasa Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak Kharijiyah Berber di
wilayah mereka.
b. Dilanjutkan dengan dimulainya proyek besar merebut Sisilia dari tangan Bizantium
pada tahun 827 M, dibawah Ziadatullah I yang amat cakap dan energik, dengan
meredakan oposisi internal di Ifriqiyyah yang dilakukan Fuqaha’ (pemimpin–pemimpin
religius) Maliki di Qayrawan (Cairovan). Disamping itu, suatu armada bajak laut
dikerahkan, sehingga membuat Aghlabiyah unggul di Mediterania Tengah dan
membuat mereka mampu mengusik pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan
Meriteran Alp. Kemudian Aghlabiah juga berhasil merebut Malta pada tahun 868 M.
Daerah-daerah tersebut yang menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Aghlabiyah.Dengan
demikian, pada tahun 878 M sempurnalah penguasaan atas Sisilia, kemudian pulau
itu dibawah pemerintahan Muslim. Pertama di bawah kekuasaan Aghlabiyah dan
kedua di bawah Gubernur-Gubernur Fathimiyah, sampai penaklukan oleh Norman
pada abad XI. Pulau itu menjadi pusat bagi penyebaran kultur Islam ke Eropa KRISTEN.
2. Peninggalan-peninggalan Bersejarah Dinasti Aghlabiah
Aghlabiyah adalah pembangun yang penuh semangat. Diantara bangunan-bangunan
peninggalan Aghlabiah adalah:
a. Pembangunan kembali Masjid Agung Qayrawan oleh ZiyadatullahI
b. Pembangunan Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
c. Pembangunan karya-karya pertanian dan irigasi yang bermanfaat, khususnya di
Ifriqiyah selatan yang kurang subur.
3. Kemunduran Dinasti Aghlabiyah
Menjelang akhir abad IX, posisi Aghlabiah di Ifqriqiyah menjadi merosot. Hal ini
disebabkan karena amir terakhirnya yaitu Ziyadatullah III tenggelam dalam kemewahan
(berfoya-foya), dan seluruh pembesarnya tertarik pada Syi’ah, juga propaganda Syi’iah, Abu
Abdullah. Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah mempunyai pengaruh yang cukup besar di
Barbar, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer, dan Dinasti Aghlabiyah
dikalahkan oleh Fatimiyah (909 M), Ziyadatullah III di usir ke Mesir setelah melakukan
upaya-upaya yang sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari Abbasiah untuk
menyelamatkan Aghlabiah (Bosworth,1993:47).

DINASTI AYYUBIYAH

Ayyubiyah adalah sebuah Dinasti Sunni yang berkuasa di Dyar Bakir hingga tahun
1429 M. Dinasti ini didirikan oleh Salahuddin al Ayyubi, wafat tahun 1193 M (Glasse,
1996:143). Ia berasal dari suku Kurdi Hadzbani, putra Najawddin Ayyub, yang menjadi
abdi dari putra Zangi bernama Nuruddin.
Keberhasilannya dalam perang Salib, membuat para tentara mengakuinya sebagai
pengganti dari pamannya, Syirkuh yang telah meninggal setelah menguasai Mesir tahun
1169 M. Ia tetap mempertahankan lembaga–lembaga ilmiah yang didirikan oleh Dinasti
Fathimiyah tetapi mengubah orientasi keagamaannya dari Syiah menjadi Sunni (Yatim,
2003:283).
Penaklukan atas Mesir oleh Salahuddin pada 1171 M, membuka jalan bagi
pembentukan madzhab-madzhab hukum sunni di Mesir. Madzhab Syafi’i tetap bertahan di
bawah pemerintahan Fathimiyah, sebaliknya Salahuddin memberlakukan madzhabmadzhab
Hanafi (Lapidus, 1999:545). Keberhasilannya di Mesir tersebut mendorongnya
untuk menjadi penguasa otonom di Mesir.
Najmudin Ayub adalah seorang yang berasal dari suku Kurdi Hadzbani dan menjadi
panglima Turki 1138 M, di Mosul dan Aleppo, dibawa pemerintahan Zangi Ibnu Aq-Songur.
Demikian juga adiknya Syirkuh, mengabdi pada Nuruddin, putra Zangi 1169 M. Syirkuh
berhasil mengusir raja Almaric beserta pasukan salibnya dari Mesir.
Kedatangan Syirkuh ke Mesir karena undangan Khalifah Fatimiyah untuk menggusir
Almaric yang menduduki Kairo. Setelah Syirkuh meninggal 1169 M digantikan
Shalahuddin (kaponakannya) sebagai pemimpin pasukan. Pertama-tama ia masih
menghormati simbol-simbol Syi’ah pada pemerintahan Al-Adil Lidinillah, setelah ia
diangkat menjadi Wazir (Gubernur). Tetapi setelah al-Adil meninggal 1171 M, Shalahuddin
menyatakan loyalitasnya kepada Khalifah Abbasiyah (al-Mustadi) di Bagdad dan secara
formal menandai berakhirnya rezim Fatimiyah di Kairo.
Keberhasilan Shalahuddin di Mesir mendorongnya menjadi penguasa otonom. Dalam
mengkosolidasikan kekuatannya, ia banyak memanfaatkan keluarganya untuk ekspansi ke
wilayah lain, seperti Turansyah. Saudaranya dikirim untuk menguasai Yaman 1173 M.
Taqiyuddin, keponakannya disetting untuk melawan tentara Salib yang menduduki Dimyat.
Sedang Syihabuddin, pamannya, untuk menduduki Mesir Hulu (Nubia). Kematian
Nuruddin 1174 M menjadikan posisi Shalahuddin semakin kuat, yang akhirnya
memudahkan penaklukan Siria, termasuk Damaskus, Aleppo dan Mosul. Akhirnya pada
1175 M, ia diakui sebagai sultan atas Mesir, Yaman dan Siria oleh Khalifah Abbasiyah.
Di masa pemerintahan Shalahuddin, ia membina kekuatan militer yang tangguh dan
perekonomian yang bekerja sama dengan penguasa Muslim di kawasan lain. Ia juga
mambangun tembok kota sebagai benteng pertahanan di Kairo dan bukit Muqattam.
Pasukannya juga diperkuat oleh pasukan barbar, Turqi dan Afrika. Disamping digalakkan perdagangan
dengan kota-kota dilaut tengah, lautan Hindia dan menyempurnakan sistem perpajakan. Atas dasar
inilah, ia melancarkan gerakan ofensif guna merebut al-Quds (Jerusalem) dari tangan tentara Salib yang
dipimpin oleh Guy de Lusignan di Hittin, dan menguasai Jerusalem tahun 1187 M. Inipun tetap tak
merubah kedudukan Shalahuddin, sampai akhirnya raja inggris Richard membuat perjanjian genjatan
senjata yang dimanfaatkannya untuk menguasai kota Acre.
Sampai ia meninggal (1193 M), Shalahuddin mewariskan pemerintahan yang stabil dan kokoh,
kepada keturunan-keturunannya dan saudaranya yang memerintah diberbagai kota. Yang paling
menonjol ialah al-Malik al-Adil (saudaranya), dan keponakannya al-Kamil, mereka berhasil menyatukan
para penguasa Ayubi lokal dengan memusatkan pemerintahan mereka di Mesir. Namun pada masa
pemerintahan al-Kamil Dinasti Ayubiyah bertempat di Diyarbakr dan al-Jazirah, mendapat tekanan dari
Dinasti Seljuk Rum dan Dinasti Khiwarazim Syah, kemudian al-Kamil mengembalikan Jerusalem
kepada kaisar Frederick II yang membawa damai dan keberuntungan ekonomi besar bagi Mesir danSiria. Hiduplah kembali perdagangan dengan kekuatan KRISTEN Mediterrania.
Setelah al-Kamil meninggal (1238 M) Dinasti Ayubiyah terkoyak oleh pertentangan-pertentangan
intern. Pada pemerintahan Ash-Shalih serangan Salib 6 dapat diatasi, yang pemimpinya raja Prencis St.
Louis ditangkap, tetapi kemudian pasukan budak (Mamluk) dari Turki merebut kekuasaan di Mesir. Ini
secara otomatis mengakhiri pemerintahan Ayubiyah keseluruhan.
1. Langkah-Langkah Yang Dilakukan Salahuddin
a. Melancarkan jihad terhadap tentara-tentara Salib di Palestina
b. Mempersatukan tentara Turki, Kurdi, dan Arab di jalan yang sama.
Dari Mesir, Shalahuddin juga dapat menyatukan Syiria dan Mesopotamia menjadi
sebuah kesatuan negara Muslim. Pada tahun 1174 ia merebut Damascus, kemudian Alippo
tahun 1185, dan merebut Mosul pada 1186.
Setelah kukuh kekuasaannya Shalahuddin melancarkan gerakan ofensif guna
mengambil alih al-Quds (Jerussalem) dari tangan tentara tanpa banyak kesulitan. Ini
berarti Jerussalem sekali lagi menjadi Muslim setelah delapan puluh tahun, dan orangorang
Frank tersingkirkan, meskipun hanya untuk sementara. Usaha besar-besaran telah
dilakukan pasukan Salib dari Inggris, Perancis, dan Jerman antara tahun 1189 – 1192 M,
namun tidak berhasil mengubah kedudukan Salahuddin. Setelah perang berakhir,
Salahuddin memindahkan pusat pemerintahan ke Damascus.
2. Perjuangan Setelah Salahuddin
Perjuangan Shalahuddin dalam merealisasikan tujuan-tujuan utamanya yaitu
mengeluarkan kaum Salib dari Baitul Maqdis dan mengembalikan pada persatuan umat
Islam, telah menghabiskan kekuatannya dan mengganggu kesehatannya. Ia meninggal dan
dimakamkan di Damaskus pada tahun 1193 M, setelah 25 tahun memerintah.
Sebelum meninggal, ia membagikan kekaisaran Ayyubiyah kepada para anggota
keluarga. Karena itu pengendalian dari pusat tetap berada di bawah kekuasaan Al-‘Adl dan
Al-kamil, sampai Al-Kamil meninggal. Di bawah kedua sultan ini, kebijaksanaan aktivis
Shalahuddin memberikan tempat sebagai hubungan detente dan damai dengan orangorang
Frank.
Setelah kematian Shalahuddin, Ayyubiyah melanjutkan pemerintahan Mesir dan
pemerintahan Syiria (sampai tahun 1260 M). Keluarga Ayyubiyah membagi imperiumnya
menjadi sejumlah kerajaan kecil Mesir, Damaskus, Alleppo, dan kerajaan Mosul sesuai
dengan gagasan Saljuk bahwa negara merupakan warisan keluarga raja. Meskipun
demikian, Ayyubiyah tidak mengalami perpecahan, karena dengan loyalitas kekeluargaan
Mesir diintegrasikan berbagai imperium. Mereka menata pemerintahan dengan sistem
birokrasi masa lampau yang telah berkembang di negara-negara Mesir dan Syiria melalui
distribusi iqta’ kepada pejabat-pejabat militer yang berpengaruh.
Ayyubiyah secara khusus enggan melanjutkan pertempuran melawan sisa-sisa
kekuatan pasukan Salib. Mereka lebih memprioritaskan untuk mempertahankan Mesir
karena kesatuan mulai melemah. Pada tahun 1229 M Ayyubiyah menegosiasikan sebuah
perjanjian dengan Fedrick II. Ini adalah puncak kebijaksanaan baru, dan pada periode
damai inilah membawa keuntungan ekonomi yang besar bagi Mesir dan Syiria, termasuk
hidupnya kembali perdagangan dengan kekuatan-kekuatan KRISTEN Mediterania (Bosworth,
1993:87) .

3. Kemunduran Dinasti Ayyubiyah
Sepeninggal Al-Kamil tahu 1238 M, Dinasti Ayyubiyah terkoyak oleh pertentanganpertentangan
intern. Serangan Salib keenam dapat diatasi, dan pimpinannya, Raja
Perancis St. Louis ditangkap. Namun pada tahun 1250 M keluarga Ayyubiyah diruntuhkan
oleh sebuah pemberontakan oleh salah satu resimen budak (Mamluk)nya, yang membunuh
penguasa terakhir Ayyubiyah, dan mengangkat salah seorang pejabat Aybeng menjadi
sultan baru. Keruntuhan ini terjadi di dua tempat, di wilayah Barat Ayyubiyah berakhir
oleh serangan Mamluk, sedangkan di Syiria dihancurkan oleh pasukan Mongol (Glasse,
1996:552). Dengan demikian berakhirlah riwayat Ayyubiyah oleh Dinasti Mamluk. Dinasti
yang mampu mempertahankan pusat kekuasaan dari serangan bangsa Mongol.
4. Kemajuan-Kemajuan Yang dan Peninggalan Dinasti Ayyubiyah
Sebagaimana Dinasti-Dinasti sebelumnya, Dinasti Ayyubiyah pun mencapai kemajuan
yang gemilang dan mempunyai beberapa peninggalan bersejarah. Kemajuan-kemajuan itu
mencakup berbagai bidang, diantaranya adalah :
a. Bidang Arsitektur dan Pendidikan
Penguasa Ayyubiyah telah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan.
Ini ditandai dengan dibangunnya Madrasah al–Shauhiyyah tahun 1239 M sebagai
pusat pengajaran empat madzhab hukum dalam sebuah lembaga Madrasah.
Dibangunnya Dar al Hadist al-Kamillah juga dibangun (1222 M) untuk mengajarkan
pokok-pokok hukum yang secara umum terdapat diberbagai madzhab hukum sunni.
Sedangkan dalam bidang arsitek dapat dilihat pada monumen Bangsa Arab, bangunan
masjid di Beirut yang mirip gereja, serta istana-istana yang dibangun menyerupai
gereja.
b. Bidang Filsafat dan Keilmuan
Bukti konkritnya adalah Adelasd of Bath yang telah diterjemahkan, karya-karya orang
Arab tentang astronomi dan geometri, penerjemahan bidang kedokteran. Di bidang
kedokteran ini telah didirikan sebuah rumah sakit bagi orang yang cacat pikiran.
c. Bidang Industri
Kemajuan di bidang ini dibuktikan dengan dibuatnya kincir oleh seorang Syiria yang
lebih canggih dibanding buatan orang Barat. Terdapat pabrik karpet, pabrik kain dan
pabrik gelas.
d. Bidang Perdagangan
Bidang ini membawa pengaruh bagi Eropa dan negara–negara yang dikuasai
Ayyubiyah. Di Eropa terdapat perdagangan agriculture dan industri. Hal ini
menimbulkan perdagangan internasional melalui jalur laut, sejak saat itu Dunia
ekonomi dan perdagangan sudah menggunakan sistem kredit, bank, termasuk Letter
of Credit (LC), bahkan ketika itu sudah ada uang yang terbuat dari emas.
e. Bidang Militer
Selain memiliki alat-alat perang seperti kuda, pedang, panah, dan sebagainya, ia juga
memiliki burung elang sebagai kepala burung-burung dalam peperangan. Disamping
itu, adanya perang Salib telah membawa dampak positif, keuntungan dibidang
industri, perdagangan, dan intelektual, misalnya dengan adanya irigasi.

Jabariyah & Qadariyah

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

  1. LATAR BELAKANG

Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[[1]]

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.[[2]]

Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.

Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.

  1. TOPIK PEMBAHASAN

a.       Aliran Jabariyah

b.      Ajaran-ajaran Jabariyah

c.       Aliran Qadariyah

d.      Aliran Jabariyah

e.       Ajaran-ajaran Qadariyah

f.        Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah : Sebuah Perbandingan tentang Musibah

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

a.      ALIRAN JABARIYAH (FATALISM/PREDESTINATION)

Latar Belakang Lahirnya Jabariyah

Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). [[3]]

Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[[4]]

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[[5]] Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,[[6]] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[[7]]

Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[[8]]

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:

a. QS ash-Shaffat: 96

ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

b.      QS al-Anfal: 17

öNn=sù öNèdqè=çFø)s?  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ  

“ Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

c. QS al-Insan: 30

$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJÅ3ym ÇÌÉÈ  

Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:

a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.

b.      Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.

c.       Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.

d.      Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[[9]]

Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[[10]]

Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.

Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. [[11]]

 

c.      Ajaran-ajaran Jabariyah

Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.

Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[[12]] Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[[13]]

Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[[14]]

Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.

Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[[15]]

 

C. ALIRAN QADARIYAH ( FREE WILL AND FREE ACT(

 Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah

Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[[16]]

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[[17]]

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [[18]]

Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[[19]]

Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[[20]]

d.  Ajaran-ajaran Qadariyah

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[[21]]

Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[[22]]

Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.

Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.

Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu :

(#qè=uHùå$# $tB ôMçGø¤Ï© ( ¼çm¯RÎ) $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇÍÉÈ  

Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).

È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).

!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁB ôs% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4¯Tr& #x»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ÏYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÊÏÎÈ  

Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)

žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)

e. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah : Sebuah Perbandingan tentang Musibah

Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.

Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.

Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.

Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.

Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.

Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.

Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.

 

 

 

 

 

BABIII

KESIMPULAN

Menurut penulis solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.

Sementara bagi Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul “Jabariyah dan Qodariyah” kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Sebagai penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2

2.      Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

3.      Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)

4.      Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)

5.      Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)

6.      Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5

7.      an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977)

8.      Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)

9.      al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)

10.  asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th)

11.  Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)

 



[1] Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004), h. 86

[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 1

[3] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 63

[4] Harun Nasution, op.cit., h. 31

[5] Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, h. 239

[6] Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.

[7] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64

[8] Harun Nasution, loc.cit.,

[9] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64-65

[10] Ibid.,

[11] Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977), h. 335

[12] Rosihan Anwar, op.cit., h. 67-68; Lihat juga Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80

[13] Hadariansyah, loc.cit; Lihat asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th);

[14] Rosihan Anwar, op.cit., h. 68

[15] Ibid., Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 75

[16] Lihat Rosihan Anwar, op.cit., h. 70; Abudin Nata, op.cit., h. 36; Hadariansyah, op.cit., h. 68

[17] Hadariansyah, loc.cit.,

[18] Hadariansyah, loc.cit.,; Harun Nasution, op.cit., h. 32; Rosihan Anwar, op.cit., h. 71

[19] Rosihan Anwar, loc. cit,.

[20] Yusran Asmuni, op.cit., h. 74

[21] Harun Nasution, op.cit., h. 31

[22] Rosihan Anwar, op.cit., h. 73