PENDAHULUAN
Al Qur’an adalah sebuah kitab suci yang menjadi landasan dasar hukum dan tuntunan hidup bagi orang muslim. Adakalanya orang muslim mendapati suatu masalah, maka mereka akan lari mencari jawabannya didalam Al Qur’an. Perlu kita ketahui, bahwa ayat-ayat yang terkandung dalam Al Qur’an adakalanya berbentuk lafadz, ungkapan, dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Disamping ayat yang sudah jelas tersebut, ada lagi ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan kepada makna yang jelas dan tegas[34].
Dari kedua pernyataan diatas dapat kita simpulkan, bahwa pada kelompok ayat yang pertama, yang maksudnya sudah jelas itulah yang disebut dengan Muhkam. Sedangkan pada kelompok ayat yang kedua yang masih samar-samar maksudnya inilah yang disebut dengan Mutasyabih. Kedua macam ayat inilah yang akan kami bahas pada makalah kami pada kesempatan kali ini. Mudah-mudahan makalah yang telah kami susun ini, dapat menarik minat baca serta menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi para pembaca yang budiman. Kami sadar selaku menusia, pasti ada kesalahan dan kekeliruan dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu dengan tangan terbuka kami siap menerima kritikan dan saran dari Dosen Pembimbing pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Demikian makalah ini kami ketengahkan, atas perhatian dan minat bacanya, kami haturkan terima kasih.
PEMBAHASAN
AL MUHKAM DAN AL MUTASYABIH
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama’ tafsir mengenai muhkam dan mutasyabih, yaitu :
Menurut As Suyuthi, Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas artinya. Sedangkan Mutasyabih adalah sebaliknya[35].
Menurut Imam Ar Razi, Muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik maksud maupun lafadznya. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil, dan sulit dipahami[36].
Menurut Manna’ Al Qaththan, Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain[37].
Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Muhkam adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Sedangkan Mutasyabih adalah merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal itu dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dia membutuhkan rincian lebih dalam dan pentakwilan[38].
Didalam masalah ayat muhkam ini, kami rasa sudah jelas tidak perlu kami terangkan lebih lanjut. Cuma disini kami akan singgung sedikit isi dari ayat muhkam itu. Menurut Abdul Mun’im Qoi’I dalam bukunya Al Ashlan fi Ulum Al Qur’an, bahwa isi dari ayat al muhkam adalah tentang kewajiban-kewajiban (fardhu, janji dan ancaman, halal dan haram, dan hukum-hukumnya Allah)[39]. Salah satu contoh kami ambil adalah fardhu puasa, firman Allah didalam surat Al Baqoroh ayat 183 yang berbunyi :
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ……..!
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian untuk berpuasa …………….”
Pada ayat ini sudah jelas pengertiannya, bahwa yang diwajibkan untuk berpuasa adalah orang-orang yang beriman, selain orang yang beriman maka mereka tidak diwajibkan berpuasa. Jadi, barangsiapa beriman kepada Allah bersegeralah berpuasa, kalau tidak jangan sampai anda dicap sebagai orang yang lemah imannya.
Demikianlah sekelumit penjelasan dari kami tentang ayat-ayat Al Muhkam, mudah-mudahan dapat anda pahami secara bijaksana.
Setelah kita bersama-sama telah mengetahui apa yang dimaksud dengan Al Muhkam dan isi-isi ayat Al Muhkam. Kami akan lanjutkan kepembahasan isi daripada ayat-ayat Al Mutasyabih, masih menurut Abdul Mun’im Qoi’i dalam bukunya Al Ashlan fi Ulum Al Qur’an, bahwa isi dari ayat Mutasyabih adalah tentang kisah-kisah dan perempuan[40]. Dan ayat-ayat mutasyabih dapat dikategorikan kepada tiga bagian, yaitu pertama dari segi lafadznya; kedua, dari segi maknanya; dan yang ketiga, merupakan kombinasi antara lafadz dan maknanya[41]. Adapun ketiga hal ini dapat kami uraikan sebagai berikut :
Mutasyabih dari Segi Lafadz
Mutasyabih dari segi lafadz ini dapat pula dibagi dua macam, yaitu :
yang dikembalikan kepada lafadz yang tunggal (awal) yang sulit diartikan/pemaknaannya, disebabkan oleh :
Sifatnya yang asing, seperti وَفَاكِهَةً وَاَبًا , lafadz اَبٌّ disini mutasyabih karena ganjil dan jarangnya digunakan. Lafadz ini diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :
مَتَعًالَكُمْ وَلاَِنْعَمِكُمْ (عبس : 32)
“ Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu “. (QS. ‘Abasa : 32)[42]
Mengandung makna yang ganda, seperti اَلْيَدُ yang berarti hanya telapak tangan saja, atau mencakup satu hasta, kekuasaan, atau juga meliputi sampai ke pangkal bahu.
kembali kepada susunan kata dalam bentuk perkataan. Perihal ini terbagi kedalam tiga bagian, yaitu :
Untuk meringkaskan perkataan, seperti :
فَمَنْ جَأَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَاسَلَفَ وَأَمْرُهُ اِلَى اللهِ.(البقرة: 275)
“ Maka orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengamalkan riba’), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya terserah kepada Allah “.
Semestinya dilanjutkan dengan ungkapan :
غَفَرْتُ خَطَايَاهُ وَبَدَّلْتُ سَيِّئَاتِهِ حَسَنَاتٍ.
“ Telah Ku-ampuni segala kesalahannya, dan Saya gantikan keburukannya dengan kebaikan “.
Inilah merupakan takwilan para ulama tentang menyikapi masalah makna yang terkandung didalam ayat diatas. Secara sekilas pengertian harfiahnya kita tidak mengerti apa maksud tujuan ayat tersebut. Setelah diadakan pentakwilan secara mendalam, maka bisa diartikan secara ringkas tentang pengertian dan maksudnya.
Untuk lebih menyederhanakan perkataaan, seperti :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ (الشورى: 11)
“ Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya “
Karena pendapat itu dapat diungkapkan dengan lebih panjang, misalnya tentu akan lebih jelas artinya :
لَيْسَ مِثْلُهُ شَيْئَ
Untuk mengikuti keserasian bunyi perkataan, seperti :
اَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا. (سورة الكهف: 1)
“ Yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan didalamnya “
Maksud dari tidak ada kebengkokan didalamnya adalah tidak ada didalam Al Qur’an itu makna yang berlawanan dan tidak ada penyimpangan dari kebenaran.
Pada ayat diatas, sebenarnya dapat diperjelas dengan ungkapan :
أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الكِتَابَ قَيِّمًا وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا
“ Yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) sebagai bimbingan yang lurus, dan tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya “
Mutasyabih dari segi maknanya
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya. Semua sifat yang demikian tidak dapat digambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dialami oleh siapapun[43] . Untuk sebagai pemahaman lebih lanjut, ini kami tampilkan beberapa contoh ayat Mutasyabih didalam Al Qur’an yang menerangkan akan perihal diatas :
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَا اِلاَّهُوَ. (الانعام: 59)
“ Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua ghaib; tak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri ………..”
اِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَافِى الاَرْحَامِ, وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ بِاَىِّ اَرْضٍ تَمُوْتُ, اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ. (لقمان: 34)
“ Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dibumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Mutasyabih dari Segi Lafadz dan Maknanya
Mutasyabih dari segi ini, menurut As-Suyuthi ada lima macam[44], yaitu :
Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafadz yang umum dan khusus :
اِقْتَلُوْا المُشْرِكِيْنَ.
“ Bunuhlah oleh kamu akan orang-orang musyrik “
Pada ayat ini, jika kita salah kaprah dalam memahaminya. Maka akan berdampak negatif dan merugikan diri kita sendiri dan orang lain. Ayat ini dilaksanakan, jika orang musyrik memerangi dan memusuhi kita, maka kita wajib membela diri. Hal ini sebagaimana firman Allah QS. Al Baqoroh ayat 191, yang berbunyi :
فَاِنْ قَتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الكَافِرِيْنَ.
“ Maka jika mereka memerangi kamu (ditempat itu Masjidil Haram), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang kafir “
Namun sebaliknya, jika mereka tidak memerangi kita sehingga mereka disebut dengan kafir zhimmi, maka kita wajib tidak boleh memerangi mereka bahkan darah mereka diharamkan oleh agama.
Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunnah :
فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَثَ وَرُبَعَ, فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً. (النساء: 3)
“ Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, yaitu dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja “.
Mutasyabih dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh :
يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ (أل عمران: 102)
“ Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa “
kemudian ayat yang lain :
فَاتَّقُوْا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“ Bertaqwalah kepada Allah menurut semampumu “
Namun dengan diketahui waktu turun masing-masing ayat, maka lenyaplah yang menyebabkan mutasyabih tersebut. Umpamanya dengan mengkompromikan keduanya, ayat pertama berkenaan dengan Aqidah dan ayat yang kedua berkenaan kegiatan anggota badan. Atau dengan menggunakan Al Nasakh, ayat pertama dinasakhkan oleh ayat yang kedua.
Mutasyabih dari segi tempat, misalnya firman Allah Ta’ala:
اِنَّمَاالنَّسِئُ زِيَادَةٌ فِى الكُفْرِ.
“ Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran “
Maka bagi orang yang telah mengetahui adat istiadat orang Arab dizaman jahiliah pastilah tidak akan mengerti tentang makna النَّسِئُ , mereka biasanya menjadikan suatu tempat bagi suatu bulan tertentu dari bulan-bulan haram di tempat bulan yang lain, umpamanya bulan Rajab digantikan di tempat bulan Sya’ban, dan bulan Sya’ban di tempat bulan Rajab dan seterusnya[45].
Mutasyabih dari segi syarat-syarat, sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan, misalnya ibadah sholat dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.
B. Sikap Para Ulama’ terhadap ayat-ayat Mutasyabih
Menyingkapi pandangan dan pendapat para ulama’ mengenai ayat-ayat mutasyabih ini, kami ketengahkan beberapa pendapat dari kalangan ulama’ yaitu Ulama’ Tafsir, Para Imam Ahlulbait, dan Ulama’ Salaf dan Khalaf.
@ Pendapat Ulama’ Tafsir (Mufasirin)
Dikalangan ulama’ tafsir terdapat perbedaan pendapat mengenai ayat-ayat mutasyabih ini. Apakah ayat itu dapat diketahui artinya atau takwilnya atau tidak, kemudian mengenai perbedaan apakah manusia berhak mengetahui maksud yang tersembunyi itu atau hanya Allah yang tahu. Perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ ini pada intinya berawal dari pemahaman ayat 7 surat Ali Imron[46]:
هُوَ الَّذِى اَنْزَلَ عَلَيْكَ الكِتَابَ مِنْهُ اَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ اُمُّ الكِتَابِ وَاُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ. فَاَمَّاالَّذِيْنَ فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْعٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ يَقُوْلُوْنَ أَمَنَّابِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ اِلاَّ اُوْلُوْا الاَلْبَابِ.
“ Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Diantara( isi)-nya ada ayat-ayat yang Muhkamat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an, dan yang lain (ayat-ayat) Mutasyabihat. Adapun orang-orang yangdalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal “.
Dari ayat di atas, para ulama’ berbeda pendapat yang berawal dari lafadz وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ . Permasalahannya apakah lafadz itu di-athof-kan dengan lafadz اِلاَّ اللهُ , atau lafadz وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ itu merupakan mubtada’ (مُبْتَدَأْ).
Berangkat dari sinilah muncul silang pendapat dikalangan ulama. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid (dari kalangan sahabat) berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui arti dan takwil ayat-ayat mutasyabihat. Mereka ini beralasan lafadz وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ di-athofkan kepada lafadz اِلاَّ اللهُ . Menurut mereka jika hanya Allah yang mengetahui dan tidak dilimpahkan kepada manusia khususnya ulama yang mendalami ilmunya tentang ayat-ayat mutasyabihat baik tentang pengertian maupun takwil, berarti mereka sama saja dengan orang awam. Pendapat ini didukung pula oleh Hasan Al Asy’ari[47] . Hal ini pemakalah berpendapat, bahwa memang sebagian atau bahkan seluruh ayat Al Qur’an mengandung pengertian ayat mutasyabihat. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan sebagian besar ayat-ayat mutasyabihat bisa ditakwilkan pengertiannya oleh para ulama yang mendalami ilmunya (وَالرَّاسِخُوْنَ) , seperti halnya contoh QS. Al-Isro’ ayat 85, yang berbunyi :
وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ, قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّى وَمَااُوْتِيْتُمْ مِنَ العِلْمِ اِلاَّقَلِيْلاً.
“ Dan mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang ruh. Katakanlah : Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi ilmu, melainkan sedikit “ (QS. Al-Isro’ : 85)
Dari ayat ini, sudah dapat kita pahami secara bersama. Didalam ayat tersebut ada ayat Muhkam dan ayat Mutasyabih, letak dari ayat muhkam adalah pengertian mengenai masalah ruh. Sesungguhnya ruh itu adalah urusan Allah, kita tidak diberi suatu ilmu melainkan hanya sedikit. Nah, ilmu yang sedikit inilah adalah termasuk ayat mutasyabih. Maka dengan pengertian ini, kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa para ulama tidak tertutup kemungkinan mereka bisa mengetahui tentang masalah ruh dengan melalui ilmu yang diberikan Allah hanya dengan sedikit ini. Bagi Allah ilmu ini sedikit, tetapi bagi ulama mungkin sangat luas sekali dalam mendalami dan mempelajarinya. Untuk itu, sama seperti halnya dengan ayat mutasyabih, Allah bukannya tidak memberitahukan tentang makna ayat tersebut, melainkan hanya sedikit dan keterbatasan ilmu yang dimiliki oleh kita manusia sehingga kita tidak bisa mengetahui takwilnya. Pendapat kami ini pula, diperkuat dengan pendapat Drs. Abu Anwar, M.Ag. Ia mengatakan : Bahwa jika Allah yang mengetahui maksud ayat-ayat mutasyabih dalam Al Qur’an, tentu saja Al Qur’an itu akan kering maknanya serta tidak menjadi rahmat bagi alam semesta. Hal ini disebabkan karena banyaknya ayat-ayat mutasyabih yang diungkapkan dalam Al Qur’an[48].
Disamping pendapat kami dan pendapat ulama lainnya yang mengatakan, bahwa ayat mutasyabih itu bisa ditakwilkan. Ada juga pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih itu tidak dapat diketahui oleh seorang pun kecuali Allah. Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cari takwil tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata[49].
Dari dua pendapat ini, sudah kelihatan kontradiksinya. Dalam hal ini Ar-Raghib Al-Asfahani, dia mengambil jalan tengah dari dua pendapat diatas. Ar-Raghib membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga bagian[50], yaitu :
Ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, seperti waktu tibanya hari kiamat.
Ayat mutasyabih yang dapat diketahui oleh manusia (orang awam) dengan menggunakan berbagai sarana terutama kemampuan akal pikiran.
Ayat-ayat mutasyabih yang khusus hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang mendalami ilmunya dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka.
Demikianlah pokok-pokok yang merupakan pembahasan mufassirin di dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang mutasyabih.
@ Pendapat Ulama’ Salaf dan Khalaf
Dalam bagian ini, pembahasan khusus tentang ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah Al-Suyuthi adalah ayat Al-Shifat. Sedangkan dalam menurut istilah Shubi Al-Shalih adalah Mutasyabih Al Shifat. Adapun ayat-ayat Mutasyabih menurut sifat-sifat Tuhan adalah sebagai berikut[51] :
Pada QS. Thaha : 5, adalah sebagai berikut :
اَلرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى.
“ Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas ‘Arsy “.
Dari ayat diatas ini, muncul sebuah kisah di mana pada suatu hari Imam Malik ditanya tentang makna Istawa (bersemayam), lalu Imam Malik menjawab :
اَلاِسْتَوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ, وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ, وَاَظُنُّكَ رَجُلَ سُوْءٍ, اَجْرِجُوْهَ عَنِّى.
“ Istawa itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya adalah bid’ah. Saya duga engkau ini orang jahat, keluarkanlah orang ini dari majlis saya “
Dari penjelasan Imam Malik diatas dapat kita ambil suatu kesimpulan, bahwa lafadz Istawa dapat dimengerti, tetapi tentang bagaimananya tidaklah dapat diketahui oleh seorang pun selain Allah. Bahkan Imam Malik mengatakan bahwa pertanyaan seperti itu adalah Bid’ah[52].
Pada QS. Al Fajr : 22, adalah sebagai berikut :
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالمَلَكُ صَفًّاصَفًّا.
“ Dan datanglah Tuhanmu; sedangkan malaikat berbaris-baris “
Pada QS. Al-An’am : 61, adalah sebagai berikut :
وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ.
“ Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi diatas semua hambanya “
Pada QS. Al Zumar : 56, adalah sebagai berikut :
يَحَسْرَتَى عَلَى مَافَرَطْتَ فِى جَنْبِ اللهِ.
“ Amat besar penyesalanku atas kelalaianku disisi Allah “
Pada QS. Ar-Rahman : 27, adalah sebagai berikut :
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوْالْجَلاَلِ وَالاِكْرَامِ
“ Dan tetap kekallah wajah Tuhanmu “
Pada QS. Thaha : 39, adalah sebagai berikut :
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِى
“ ……dan supaya kamu diasuh atas mataku “
Pada QS. Al-Fath : 10, adalah sebagai berikut :
يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ
“ Tangan Allah di atas tangan mereka “
Pada ayat ini, kalau kita lihat kembali dalam istilah ilmu fiqih, ayat ini termasuk dalam Manthuq Zihar, yaitu suatu lafadz yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti lain, selain arti harfiyahnya[53]. Menurut zahirnya kata يَدٌ berarti tangan, tetapi mustahil Allah mempunyai tangan. Maka tangan ini bisa ditakwilkan dengan arti kekuasaan.
Pada QS. Ali-Imran : 28, adalah sebagai berikut :
وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
“ …..Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya “
Dalam ayat-ayat ini terdapat kata-kata bersemayam, datang, di atas, sisi, wajah, mata, tangan dan diri yang dibangsakan atau dijadikan sifat bagi Allah. Kata-kata ini menunjukkan keadaan, tempat, dan anggota yang layak bagi makhluk yang baharu, misalnya manusia. Karena dalam ayat-ayat tersebut kata-kata ini dibangsakan kepada Allah yang qodim (absolut), maka sulit dipahami maksud yang sebenarnya. Karena itu pula, ayat-ayat tersebut dinamakan mutasyabihat shifat[54]. Maka dalam hal ini timbul suatu pertanyaan, apakah maksud ayat-ayat ini dapat diketahui oleh manusia atau tidak ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Shubhi Sholih mengemukakan pendapat dua kelompok madzhab, yaitu Salaf dan Khalaf.
Madzhab Salaf
Kelompok ini mempercayai dan mengimani ayat-ayat (tentang sifat-sifat) mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah. Mereka tetap mensucikan Allah dari makna-makna lahir yang mustahil atau tidak mungkin bagi Allah[55]. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Asy-Syura ayat : 11;
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ
“ Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia “
Karena Madzhab Salaf menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula Madzhab Mufawwidhah atau Tafwidh[56]. Inilah sistem penafsiran yang diterapkan oleh Madzhab Salaf pada umumnya terdapat ayat-ayat mutasyabihat. Dalam penerapan sistem ini, mereka mempunyai dua argumen, yaitu argumen Aqli dan Naqli.
Argumen Aqli adalah bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya di kalangan bangsa Arab. Penentuan seperti ini, hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti). Sedangkan sifat-sifat Allah termasuk masalah aqidah yang dasarnya tidak cukup dengan argumen yang zanni. Lantaran dasar yang qath’i (pasti) tidak diperoleh, maka madzhab Salaf berkesimpulan untuk Tawaqquf (tidak memutuskan) dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal[57].
Adapun dalam argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan Atsar shahabat[58]. Akan tetapi disini kami hanya akan mengambil dua hadits saja untuk menerangkan argumen naqli ini. Adapun haditsnya adalah sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : تَلاَرَسُوْلُ اللهِ ص.م. هَذِهِ الاَيَةَ (هُوَ الَّذِى اَنْزَلَ عَلَيْكَ الكِتَابَ الى قوله- اِلاَّ اُوْلُوْا الاَلْبَابِ) قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. : فَاِذَا رَاَيْتَ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ فَاُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرْهُمْ.(رواه البخارى ومسلم وغيرهما)
“ Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata : Rosulullah S.a.w. membaca ayat : هُوَ الَّذِى اَنْزَلَ عَلَيْكَ الكِتَابَ الى قوله- اِلاَّ اُوْلُوْا الاَلْبَابِ (QS. Ali Imron : 7). Rosulullah S.a.w. bersabda : Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, daripadanya maka itulah mereka orang-orang yang disebutkan Allah (yaitu sesat). Maka berhati-hatilah terhadap mereka “. (HR. Imam Al Bukhori, Muslim dan lain keduanya)
مِنْ حَدِيْثِ عَمْرِ وَابْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص.م. قَالَ : اِنَّ القُرْأَنَ لَمْ يَنْزِلْ لِيُكَذِّبَ بَعْضُهُ بَعْضًا فَمَاعَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوْابِهِ وَمَاتَشَابَهَ فَأَمِنُوْابِهِ. (رواه مرداويه)
“ Dari ‘Amr Ibnu Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya dari Rosulullah S.a.w. ia bersabda : Sesungguhnya Al Qur’an tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lainnya; apa yang kamu ketahui daripadanya, maka amalkanlah. Dan apa yang mutasyabihat, maka hendaklah kamu meyakininya “. (HR. Mirdawaih).
Madzhab Khalaf
Kelompok ini adalah kelompok ulama’ yang mentakwilkan lafadz yang makna lahirnya itu mustahil kepada makna yang lain yang sesuai dengan zat Allah. Kelompok ini lebih dikenal dengan nama Muawwilah atau Madzhab Takwil[59]. Mereka mentakwilkan semua sifat-sifat yang terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat di atas dengan takwilan yang bersifat rasional, seperti contoh : Istiwa mereka takwilkan dengan pengendalian Allah terhadap alam semesta ini tanpa merasa kesulitan. Kedatangan Allah mereka takwilkan dengan kedatangan perintah-perintah Allah. Allah berada di atas hamba-Nya mereka takwilkan dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada pada suatu tempat. Kata sisi mereka mereka takwilkan dengan hak Allah. Wajah mereka, mereka takwilkan dengan zat Allah. Mata mereka, mereka takwilkan dengan penglihatan/pandangan. Tangan mereka takwilkan dengan kekuasaan Allah. Dan diri, mereka takwilkan dengan siksaan Allah[60].
Madzhab Khalaf ini, pada umumnya adalah dari kalangan ulama muta’akhirin. Imam Al-Haramain (w. 478 H)[61] pada mulanya termasuk madzhab ini, tetapi kemudian beliau menarik diri darinya. Dalam sebuah Risalah An-Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti madzhab salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih[62].
Menurut kami sebagai pemakalah, kenapa Imam Haramain menarik diri dari madzhab khalaf adalah karena beliau takut dan ada rasa keragu-raguan dalam hati beliau didalam mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih. Beliau takut keliru dan terjerumus kedalam kelompok orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat sehingga dicap dalam Al Qur’an sebagai orang-orang yang sesat.
Ibnu Qutaibah (w. 276 H) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan, yaitu :
makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
arti yang dipilih sudah dikenal oleh bahasa Arab Klasik.
Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok Az-Zhahiriyyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal[63].
Madzhab Khalaf mengatakan ayat-ayat mutasyabihat itu sebagian bisa ditakwilkan, mereka berpegang kepada kata para sahabat-sahabat, dan para tabi’in. Seperti halnya kami kemukakan pendapat dibawah ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِى قَوْلِهِ (وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ) قَالَ : اَنَامِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَأْوِيْلَهُ.
“ Dari Ibnu Abbas r.a. tentang firman Allah : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalami ilmunya. Berkata Ibnu Abbas r.a. : Saya adalah diantara orang yang mengetahui takwilnya “. (Diriyawatkan oleh Ibnu Al-Munzir)
Menurut kami selaku pemakalah, pada perkataan Ibnu Abbas r.a. diatas sudah jelas sekali, bahwa beliau mengartikan وَالرَّاسِخُوْنَ adalah di-athofkan kepada lafadz اِلاَّ اللهُ . ini berarti yang hanya bisa mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat adalah Allah dan orang-orang yang mendalami ilmunya, termasuk kedalamnya adalah Ibnu Abbas r.a. sendiri. Pada dasarnya Ibnu Abbas r.a. sendiri pernah meminta dido’akan oleh Rosulullah S.a.w. supaya dia bisa memahami ilmu agama dan serta takwilannya. Adapun bunyi do’a Rosulullah S.a.w. itu adalah sebagai berikut :
اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ.
“ Ya Allah, berilah pemahaman kepadanya dalam bidang agama dan ajarkanlah takwil kepadanya “.
Dan selanjutnya ada pendapat dari Al-Dhahhak r.a. ia berkata :
الرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ يَعْلَمُوْنَ تَأْوِيْلَهُ لَوْ لَمْ يَعْلَمُوْا تَأْوِيْلَهُ لَمْ يَعْلَمُوْا نَاسِخَهُ مِنْ مَنْسُوْخِهِ وَلاَحَلاَلَهُ مِنْ حَرَامِهِ وَلاَمُحْكَمَهُ مِنْ مُتَشَابِهِهِ.
“ Orang-orang yang mendalami ilmunya mengetahui takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya mereka tidak mengetahui nasakh dan mansukhnya, halalnya dari haramnya, dan ayat muhkam dan ayat mutasyabih “. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim).
@ Pendapat Para Imam Ahlulbait
Yang kami pahami (kata Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i) dari Imam Ahlulbait adalah bahwa tidak ada ayat mutasyabih yang tidak mungkin diketahui maksudnya secara hakiki. Bahkan ayat-ayat yang tidak mandiri makna-makna hakikinya, dapat diketahui dengan perantara ayat-ayat lain[64]. Inilah yang dimaksud dengan mengembalikan ayat muhkam kepada ayat mutasyabih, seperti lahir firman Allah Ta’ala sebagai berikut :
pada QS. Thaha : 5, adalah sebagai berikut :
اَلرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى.
“ Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas ‘Arsy “.
pada QS. Al-Fath : 10, adalah sebagai berikut :
يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ
“ Tangan Allah di atas tangan mereka “
Pada kedua ayat ini menunjukkan arti Jismiyyah (jisim-jisim), yaitu seolah-olah Allah itu benda dan makhluk. Maka kita kembalikan kepada firman Allah dalam Surat Asy-Syura ayat 11, yaitu
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ
“ Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia “
Dan juga pendapat Ulama Ahlulbait, diperkuat dengan kata Imam Shadiq as sebagai berikut[65] :
اَلْمُحْكَمُ مَايُعْمَلُ بِهِ وَالْمُتَشَابِهُ مَااشْتَبَهَ عَلَى جَاهِلِهِ.
“ Muhkam adalah ayat yang dapat diamalkan, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahuinya “.
Dan Imam Ridha as berkata :
مَنْ رَدَّ مُتَشَابِهَ القُرْأَنِ اِلَى مُحْكَمِهِ هُدِىَ اِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.
“ Barangsiapa merujukkan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat-ayat muhkam, maka dia telah ditunjukkan kepada jalan yang lurus “.
Dengan adanya dalil-dalil yang telah diutarakan oleh para ulama’ diatas, maka sudah jelaslah bahwa ayat-ayat mutasyabih itu tidak tertutup kemungkinan bisa ditakwilkan. Menurut hemat kami selaku pemakalah, bahwa Ulama’ Ahlulbait ini termasuk mendukung daripada pendapat Ulama’ Khalaf. Akan tetapi perlu kita ketahui secara bersama, bahwa tidak semua ayat-ayat mutasyabih mereka bisa takwilkan, melainkan hanya sebagian saja yang bisa mereka takwilkan. Sesungguhnya mereka sendiri mengakui bahwa ayat-ayat didalam Al Qur’an itu banyak sekali kata-kata yang penuh dengan tanda tanya, yang masih ghoib dan tak jelas. Mereka masih memerlukan petunjuk dari Allah Swt.
C. Fawatih As Suwari
Sebelum kita membahas tentang Fawatih As Suwar, adakala baiknya terlebih dahulu kita bersama-sama mengetahui apa yang dimaksud dengan Fawatih As Suwar itu sendiri ?
Fawatih As Suwar itu adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surat, ia merupakan bagian dari ayat Mutasyabih karena ia bersifat mujmal (global), mu’awwal (memerlukan takwil), dan musykil (sukar dipahami). Didalam Al Qur’an terdapat huruf-huruf awalan dalam pembukaan surah dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu ciri kebesaran Allah dan ke MahatahuanNya, sehingga kita terpanggil untuk menggali ayat-ayat tersebut. Dengan adanya suatu keyakinan bahwa semakin dikaji ayat Al Qur’an itu, maka semakin luas pengetahuan kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan perkembangan ilmu tafsir yang kita lihat hingga sekarang ini[66].
Adapun untuk memperjelas lagi apa itu ayat Fawatih As Suwar, maka dengan ini kami tampilkan ayat-ayatnya sebagai berikut[67] :
Awalan surah yang terdiri dari satu huruf, ini terdapat pada tiga surah.
Surah Shad. صَ. وَالْقُرْأَنُ ذِى الذِّكْرِ.
Surah Qaaf. قَ. وَالْقُرْأَنُ الْمَجِيْدُ.
Surah Al Qolam. نَ. وَالقَلَمُ وَمَايَسْطُرُوْنَ.
Awalan surah yang terdiri dari dua huruf, ini terdapat pada sepuluh surah :
Surah Al Mukmin. حم
Surah Fushilat. حم
Surah Asy-Syura. حم
Surah Az Zukhruf. حم
Surah Ad Dukhan. حم
Surah Al Jasyiah. حم
Surah Al Ahqaf. حم
Surah Thaha. طه
Surah An-Naml. طس
Surah Yasin. يس
Tujuh dari sepuluh surah diatas, ini dinamakan Hawwaamiim[68].
Awalan surah yang terdiri dari tiga huruf, ini terdapat pada tiga belas surah, yaitu :
F Enam surah diawali Alif Lam Mim (الم)
Surah Al Baqoroh
Surah Ali Imran
Surah Al Ankabut
Surah Ar Rum
Surah Luqman
Surah As-Sajadah
F Lima surah diawali dengan Alif Lam Ro (الر)
Surah Yunus
Surah Hud
Surah Yusuf
Surah Ibrahim
Surah Al Hijr
F Dua surah yang diawali dengan Tha Sin Mim (طسم)
Surah Asy Syu’ara
Surah Al Qoshosh
Awalan surah yang terdiri dari empat huruf, ini terdapat pada dua tempat, yaitu :
Surah Al A’araf. المص
Surah Ar Ra’du. المر
Awalan surah yang terdiri dari lima huruf, ini hanya terdapat pada surah Maryam, yaitu : كهيعص .
Dari ketiga belas ayat-ayat Fawatih As Suwar yang tersebut di atas, dengan ini kami selaku pemakalah (berpendapat) akan mengambil satu ayat sebagai penjelasan, yaitu Alif Lam Mim (الم). Didalam tafsir Jalalin mengenai ayat-ayat Fawatih As Suwar ini sudah dijelaskan tidak bisa ditafsirkan (menurut golongan madzhab salaf), hanya Allahlah yang Maha Mengetahui. Yaitu Alif Lam Mim ditafsirkan dengan وَاللهُ اَعْلَمُ بِمُرَدِهِ artinya “Dan Allah Maha Lebih Mengetahui dengan maksudNya”. Dan ada lagi didalam tafsir Marohi syarach Imam Nawawi, Alif Lam Mim beliau tafsirkan mengambil pendapat Imam Syu’bi dan Jama’ah, yaitu :
قَالَ الشُّعْبِى وَجَمَاعَةٌ الم وَسَائِرُ حُرُوْفِ الهِجَاءِ فِى اَوَائِلِ السُّوَّرِ مِنَ المُتَشَابِهِ الَّذِى اِنْفَرَدَ اللهُ بِعِلْمِهِ وَهِىَ سِرُّ القُرْأَنِ فَنَحْنُ نُؤْمِنُ بِظَاهِرِهَا وَنَفُوْضُ العِلْمَ فِيْهَا اِلَى اللهِ تَعَالَى. وَفَائِدَةُ ذِكْرِهَا طَلَبُ الاِيْمَانِ بِهَا.
“ Alif Lam Mim itu adalah menjadi rahasia pada seluruh huruf hijaiyah pada awal surah dari ayat mutasyabih yang telah disatukan oleh Allah dengan ilmuNya, yaitu menjadi rahasia Al Qur’an. Maka kami beriman dengan zhohirnya dan kami menuntut ilmu padanya hingga kepada Allah Ta’ala. “
Tafsiran ini, menurut kami sudah jelas bahwa Imam Syu’bi termasuk golongan madzhab salaf. Beliau tidak mau menafsirkan lafadz Alif Lam Mim ini karena beliau takut tersesat sehingga beliau mengatakan biarlah ini menjadi rahasia Al Qur’an. Akan tetapi, beliau tetap beriman dengan zhohirnya dan beliau tetap menuntut dan memohon diberikan ilmu lebih dari Allah Swt.
Dan dipenghujung tafsir Abu Bakar r.a. berkata :
فِى كُلِّ كِتَابٍ سِرٌّ وَسِرُّ اللهِ فِى القُرْأَنِ أَوَائِلُ السُّوَرِ.
“ Didalam seluruh kitab mempunyai rahasia, dan rahasia Allah didalam Al Qur’an itu ada pada awal surah “.
Hal ini bertolak belakang dengan Ibnu Abbas r.a. beliau mampu untuk menafsirkannya, yaitu kata beliau :
فِى قَوْلِهِ (الم) قَالَ : اَنَا اَللهُ اَعْلَمُ. وَفِى قَوْلِهِ (الَمَصَ) قَالَ : اَنَا اَللهُ اُفَصِّلُ. وَفِى قَوْلِهِ (الر) قَالَ : أَنَا اَللهُ اَرَى.
“ Tentang firman Allah Alif Lam Mim adalah Aku Allah Maha Mengetahui, tentang Alif Lam Mim Shodh adalah Aku Allah akan memperinci, dan Alif Lam Ro adalah Aku Allah Maha Melihat”. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalan Abu Al-Dhuha)
Dan ada lagi dari Ibnu Abbas r.a. dengan tafsirannya sebagai berikut :
قَالَ : الر وَ حم وَ ن حُرُوْفُ الرَّحْمَنِ مُفَرَّقَةً.
“ Tentang ( firman Allah) pada ayat Alif Lam Ro, Ha Mim, dan Nun adalah huruf-huruf Ar Rahman yang dipisahkan “. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Jalan Ikrimah)
Dan masih banyak lagi pendapat dari ulama yang menafsirkan ayat Fawatih As Suwar, seperti Salim Ibnu Abdillah, Al Saddiy, Al Baidhawi dan lain-lain. Akan tetapi disini, kami hanya menampilkan pendapat Ibnu Abbas r.a. karena menurut kami Ibnu Abbas r.a. memang patut mendapatkan anugerah yang luar biasa. Karena ia bisa mentakwilkan ayat mutasyabihat, berkat atas do’a Rosulullah S.a.w. yang sudah kami jelaskan sebelumnya.
D. Hikmahnya ada ayat Al Muhkam dan Al Mutasyabih.
Adapun hikmah yang terkandung didalam ayat-ayat Al Muhkam dan Al Mutasyabih adalah sebagai berikut :
Hikmah adanya ayat Al Muhkam adalah tidak adanya perselisihan pendapat mengenai cara pentakwilannya, adanya kesepakatan paham, tidak membuat orang menjadi syubhat, ragu-ragu, dan sesat. Dan serta menjadi suatu alat untuk bisa mentakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat.
Hikmah pada ayat Al Mutasyabih menurut As Suyuthi didalam kitab Al Itqan-nya beliau berkata :
Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
Ayat-ayat mutasyabihat ini, untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya dengan memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, grametika, ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqh dan lain sebagainya.
Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih
Dan memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa disaksikan dan dirasakan.
Hikmah pada ayat mutasyabih menurut Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dalam bukunya Ulumul Qur’an, beliau katakan sebagai berikut :
E. Kesimpulan
Dari uraian ayat-ayat muhkam dan mutasyabih diatas, dapat dipahami sebagai berikut :
Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan barulah kita dapat memahami tentang maksud ayat.
Ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam ilmu Al Qur’an yang para ulama menilainya dengan alasan masing-masing, seperti Ulama Tafsir, Madzhab Salaf, Madzhab Khalaf dan Ulama’ Ahlulbait.
Fawatih As Suwar itu adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surat, ia merupakan bagian dari ayat Mutasyabih karena ia bersifat mujmal (global), mu’awwal (memerlukan takwil), dan musykil (sukar dipahami).
Pada penafsiran ayat Fawatih As Suwar terjadi perselisihan dua golongan ulama, yaitu golongan pertama mengatakan bahwa ayat Fawatih As Suwar itu tidak bisa ditakwilkan, mereka ini adalah Imam Syu’bi dan Jama’ah, serta tafsir Jalalin. Sedangkan golongan yang kedua ini mengatakan bahwa ayat Fawatih As Suwar itu bisa ditakwilkan, mereka ini adalah Ibnu Abbas r.a., Salim Ibnu Abdillah, Al Saddiy, Al Baidhawi dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Husni, Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki. 1999. Mutiara Ilmu-ilmu Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. terj. Rosihan Anwar.
Al Qaththan, Manna. 1975/1393. Mabahits fi Ulum Al Qur’an. Riyadh: Mansyurat Al Ashri Al Hadits.
Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim. 1988. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.
Anshori M, Kusnadi. 2003. Ulumul Qur’an. Palembang : Pusat Penerbitan dan Percetakan IAIN Raden Fatah.
Anwar, Abu. 2005. Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Amzah.
As Suyuthi. Al Itqan fi Ulumul Qur’an. juz II, Dar Al Fikr.
Bakr Ismail, Muhammad Al-. 1991. Dirasat fi Ulum Al Qur’an. Dar Al Manar.
Departemen Agama RI. 1989. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : Toha Putra.
Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al Qur’an. Bandung : Mizan.
Shiddieqy, Hasbi Ash-. 1995. Ilmu-Ilmu Al Qur’an. Jakarta : Bulan Bintang.
Subhi Soleh, Dar Al-. 1993. Mabahits fi Ulumul Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus. Terjemahan Pustaka Firdaus.
Thabathaba’i, Sayyid Muhammad Husain. 2000. Memahami Esensi Al Qur’an. Jakarta : Lentera.
Wahid, Ramli Abdul. 1993. Ulumul Qur’an. Jakarta : Rajawali.
[34] Abu Anwar, Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar. (Pekanbaru: Amzah, 2005), cet. II, hlm. 77
[35] As Suyuthi, Al Itqan fi Ulumul Qur’an, juz II, Dar Al Fikr, hlm. 2
[36] Muhammad Al Bakr Ismail, Dirasat fi Ulum Al Qur’an, cet I, Dar Al Manar, 1991, hlm. 211
[37] Manna, Al Qaththan, Mabahits fi Ulum Al Qur’an, (Riyadh: Mansyurat Al Ashri Al Hadits, 1975/1393), hlm. 232
[38] Dar Al Subhi Soleh, Terjemahan Pustaka Firdaus, Mabahits fi Ulumul Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 372
[39] Anshori M, Kusnadi. Ulumul Qur’an, (Palembang : Pusat Penerbitan dan Percetakan IAIN Raden Fatah, 2003), cet. I, hlm. 51
[40] Ibid,. hlm. 51
[41] Anwar, op. cit., hlm. 78-79
[42] Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) jilid II, hlm. 278.
[43] As-Syuyuthi, op.cit., hlm. 2.
[44] Ibid, hlm. 5.
[45] Kusnadi, op. cit., hlm. 54.
[46] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : Toha Putra, 1989) hlm. 76.
[47] Subhi Soleh, op.cit., hlm. 373.
[48] Lihat Abu Anwar, Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar, op. Cit., hlm. 82-83.
[49] Ibid., hlm. 83.
[50] Subhi Soleh, op.cit., hlm. 372.
[51] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta : Rajawali, 1993). Cet. 1, hlm. 90.
[52] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahan, op. Cit., hlm. 476.
[53] Manthuq menurut bahasa adalah diucapkan, sedangkan menurut istilah yaitu :
مَادَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ فِى مَحَلِ النُّطْقِ
“ Apa yang ditunjukkan oleh lafadz sesuai dengan yang diucapkan “
[54] Wahid, op. Cit., hlm. 91.
[55] Subhi Sholih, op. Cit., hlm. 284.
[56] Wahid, loc. Cit.
[57] Ibid, hlm. 92.
[58] Ibid, hlm. 93-94.
[59] Subhi Sholih, loc. Cit.
[60] Anwar, op. Cit., hlm. 86.
[61] Imam Al-Haramain adalah Abdul Malik bin Abi Abdillah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini Asy-Syafi’i Al-‘Iraqi, Abu Al-Ma’ali. Ia adalah gurunya Imam Al-Ghazali dan murid terkemuka Imam Asy-Syafi’i. Untuk biografi lengkapnya silakan baca dalam kitab Wafayat Al-A’yan. Jilid I, hlm. 287.
[62] Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Rosihan Anwar, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm. 142-144.
[63] M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 91.
[64] Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Memahami Esensi Al Qur’an, (Jakarta : Lentera, 2000), cet. II, hlm. 46.
[65] Tafsir Al-‘Iyasyi, juz I, hlm. 162.
[66] Anwar, op. Cit., hlm. 89.
[67] Ibid, hlm. 89-91.
[68] Hawwaamiim adalah jamak dari haa miim, yaitu surah-surah yang diawali dengan huruf ha dan mim. Lihat pada Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 124.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Salam,
BalasHapusMohon sedikit penambahan/pembetulan, sila lihat penjelasan ayat2 muhkam dan mutasyabih dlm http://kajian-quran.blogspot.com/
wajib kita beriman bahwa seluruh ayat2 Al-Quran samada muhkam atau mutasyabih adalah ayat-ayat yg jelas lagi terang. menjadi kufur sekiranya kita mengatakan bahwa ayat2 mutasyabihat itu ayat2 yg kurang jelas atau samar2 sbb Allah menyatakan ayat2 mutasyabihat adalah ayat2 petunjuk "hudan".
Mana mungkin petunjuk atau hudan itu boleh kabur atau samar-samar sbb hudan itulah yg akan menjadikan umat Islam umat terbaik "khaira ummatin".