Sabtu, 21 November 2009

Muhkam Mutasyabih

PENDAHULUAN

Al Qur’an adalah sebuah kitab suci yang menjadi landasan dasar hukum dan tuntunan hidup bagi orang muslim. Adakalanya orang muslim mendapati suatu masalah, maka mereka akan lari mencari jawabannya didalam Al Qur’an. Perlu kita ketahui, bahwa ayat-ayat yang terkandung dalam Al Qur’an adakalanya berbentuk lafadz, ungkapan, dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Disamping ayat yang sudah jelas tersebut, ada lagi ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan kepada makna yang jelas dan tegas[34].

Dari kedua pernyataan diatas dapat kita simpulkan, bahwa pada kelompok ayat yang pertama, yang maksudnya sudah jelas itulah yang disebut dengan Muhkam. Sedangkan pada kelompok ayat yang kedua yang masih samar-samar maksudnya inilah yang disebut dengan Mutasyabih. Kedua macam ayat inilah yang akan kami bahas pada makalah kami pada kesempatan kali ini. Mudah-mudahan makalah yang telah kami susun ini, dapat menarik minat baca serta menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi para pembaca yang budiman. Kami sadar selaku menusia, pasti ada kesalahan dan kekeliruan dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu dengan tangan terbuka kami siap menerima kritikan dan saran dari Dosen Pembimbing pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Demikian makalah ini kami ketengahkan, atas perhatian dan minat bacanya, kami haturkan terima kasih.

PEMBAHASAN

AL MUHKAM DAN AL MUTASYABIH
A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama’ tafsir mengenai muhkam dan mutasyabih, yaitu :
Menurut As Suyuthi, Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas artinya. Sedangkan Mutasyabih adalah sebaliknya[35].
Menurut Imam Ar Razi, Muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik maksud maupun lafadznya. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil, dan sulit dipahami[36].
Menurut Manna’ Al Qaththan, Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain. Sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain[37].

Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Muhkam adalah ayat yang sudah jelas baik lafadz maupun maksudnya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Sedangkan Mutasyabih adalah merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an yang masih belum jelas maksudnya, hal itu dikarenakan ayat mutasyabih bersifat mujmal (global) dia membutuhkan rincian lebih dalam dan pentakwilan[38].

Didalam masalah ayat muhkam ini, kami rasa sudah jelas tidak perlu kami terangkan lebih lanjut. Cuma disini kami akan singgung sedikit isi dari ayat muhkam itu. Menurut Abdul Mun’im Qoi’I dalam bukunya Al Ashlan fi Ulum Al Qur’an, bahwa isi dari ayat al muhkam adalah tentang kewajiban-kewajiban (fardhu, janji dan ancaman, halal dan haram, dan hukum-hukumnya Allah)[39]. Salah satu contoh kami ambil adalah fardhu puasa, firman Allah didalam surat Al Baqoroh ayat 183 yang berbunyi :

يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ……..!

“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu sekalian untuk berpuasa …………….”

Pada ayat ini sudah jelas pengertiannya, bahwa yang diwajibkan untuk berpuasa adalah orang-orang yang beriman, selain orang yang beriman maka mereka tidak diwajibkan berpuasa. Jadi, barangsiapa beriman kepada Allah bersegeralah berpuasa, kalau tidak jangan sampai anda dicap sebagai orang yang lemah imannya.

Demikianlah sekelumit penjelasan dari kami tentang ayat-ayat Al Muhkam, mudah-mudahan dapat anda pahami secara bijaksana.

Setelah kita bersama-sama telah mengetahui apa yang dimaksud dengan Al Muhkam dan isi-isi ayat Al Muhkam. Kami akan lanjutkan kepembahasan isi daripada ayat-ayat Al Mutasyabih, masih menurut Abdul Mun’im Qoi’i dalam bukunya Al Ashlan fi Ulum Al Qur’an, bahwa isi dari ayat Mutasyabih adalah tentang kisah-kisah dan perempuan[40]. Dan ayat-ayat mutasyabih dapat dikategorikan kepada tiga bagian, yaitu pertama dari segi lafadznya; kedua, dari segi maknanya; dan yang ketiga, merupakan kombinasi antara lafadz dan maknanya[41]. Adapun ketiga hal ini dapat kami uraikan sebagai berikut :
Mutasyabih dari Segi Lafadz

Mutasyabih dari segi lafadz ini dapat pula dibagi dua macam, yaitu :
yang dikembalikan kepada lafadz yang tunggal (awal) yang sulit diartikan/pemaknaannya, disebabkan oleh :
Sifatnya yang asing, seperti وَفَاكِهَةً وَاَبًا , lafadz اَبٌّ disini mutasyabih karena ganjil dan jarangnya digunakan. Lafadz ini diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :

مَتَعًالَكُمْ وَلاَِنْعَمِكُمْ (عبس : 32)

“ Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu “. (QS. ‘Abasa : 32)[42]
Mengandung makna yang ganda, seperti اَلْيَدُ yang berarti hanya telapak tangan saja, atau mencakup satu hasta, kekuasaan, atau juga meliputi sampai ke pangkal bahu.
kembali kepada susunan kata dalam bentuk perkataan. Perihal ini terbagi kedalam tiga bagian, yaitu :
Untuk meringkaskan perkataan, seperti :

فَمَنْ جَأَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَاسَلَفَ وَأَمْرُهُ اِلَى اللهِ.(البقرة: 275)

“ Maka orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengamalkan riba’), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) dan urusannya terserah kepada Allah “.

Semestinya dilanjutkan dengan ungkapan :

غَفَرْتُ خَطَايَاهُ وَبَدَّلْتُ سَيِّئَاتِهِ حَسَنَاتٍ.

“ Telah Ku-ampuni segala kesalahannya, dan Saya gantikan keburukannya dengan kebaikan “.

Inilah merupakan takwilan para ulama tentang menyikapi masalah makna yang terkandung didalam ayat diatas. Secara sekilas pengertian harfiahnya kita tidak mengerti apa maksud tujuan ayat tersebut. Setelah diadakan pentakwilan secara mendalam, maka bisa diartikan secara ringkas tentang pengertian dan maksudnya.
Untuk lebih menyederhanakan perkataaan, seperti :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ (الشورى: 11)

“ Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya “

Karena pendapat itu dapat diungkapkan dengan lebih panjang, misalnya tentu akan lebih jelas artinya :

لَيْسَ مِثْلُهُ شَيْئَ
Untuk mengikuti keserasian bunyi perkataan, seperti :

اَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا. (سورة الكهف: 1)

“ Yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan didalamnya “

Maksud dari tidak ada kebengkokan didalamnya adalah tidak ada didalam Al Qur’an itu makna yang berlawanan dan tidak ada penyimpangan dari kebenaran.

Pada ayat diatas, sebenarnya dapat diperjelas dengan ungkapan :

أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الكِتَابَ قَيِّمًا وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا

“ Yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) sebagai bimbingan yang lurus, dan tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya “
Mutasyabih dari segi maknanya

Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya. Semua sifat yang demikian tidak dapat digambarkan secara konkret karena kejadiannya belum pernah dialami oleh siapapun[43] . Untuk sebagai pemahaman lebih lanjut, ini kami tampilkan beberapa contoh ayat Mutasyabih didalam Al Qur’an yang menerangkan akan perihal diatas :

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَا اِلاَّهُوَ. (الانعام: 59)

“ Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua ghaib; tak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri ………..”


اِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَافِى الاَرْحَامِ, وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَاتَدْرِى نَفْسٌ بِاَىِّ اَرْضٍ تَمُوْتُ, اِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ. (لقمان: 34)

“ Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui dibumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Mutasyabih dari Segi Lafadz dan Maknanya

Mutasyabih dari segi ini, menurut As-Suyuthi ada lima macam[44], yaitu :
Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafadz yang umum dan khusus :

اِقْتَلُوْا المُشْرِكِيْنَ.

“ Bunuhlah oleh kamu akan orang-orang musyrik “

Pada ayat ini, jika kita salah kaprah dalam memahaminya. Maka akan berdampak negatif dan merugikan diri kita sendiri dan orang lain. Ayat ini dilaksanakan, jika orang musyrik memerangi dan memusuhi kita, maka kita wajib membela diri. Hal ini sebagaimana firman Allah QS. Al Baqoroh ayat 191, yang berbunyi :

فَاِنْ قَتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الكَافِرِيْنَ.

“ Maka jika mereka memerangi kamu (ditempat itu Masjidil Haram), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang yang kafir “

Namun sebaliknya, jika mereka tidak memerangi kita sehingga mereka disebut dengan kafir zhimmi, maka kita wajib tidak boleh memerangi mereka bahkan darah mereka diharamkan oleh agama.
Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunnah :

فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَثَ وَرُبَعَ, فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً. (النساء: 3)

“ Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, yaitu dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja “.
Mutasyabih dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh :

يَااَيُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ (أل عمران: 102)

“ Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa “

kemudian ayat yang lain :

فَاتَّقُوْا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ

“ Bertaqwalah kepada Allah menurut semampumu “

Namun dengan diketahui waktu turun masing-masing ayat, maka lenyaplah yang menyebabkan mutasyabih tersebut. Umpamanya dengan mengkompromikan keduanya, ayat pertama berkenaan dengan Aqidah dan ayat yang kedua berkenaan kegiatan anggota badan. Atau dengan menggunakan Al Nasakh, ayat pertama dinasakhkan oleh ayat yang kedua.
Mutasyabih dari segi tempat, misalnya firman Allah Ta’ala:

اِنَّمَاالنَّسِئُ زِيَادَةٌ فِى الكُفْرِ.

“ Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran “

Maka bagi orang yang telah mengetahui adat istiadat orang Arab dizaman jahiliah pastilah tidak akan mengerti tentang makna النَّسِئُ , mereka biasanya menjadikan suatu tempat bagi suatu bulan tertentu dari bulan-bulan haram di tempat bulan yang lain, umpamanya bulan Rajab digantikan di tempat bulan Sya’ban, dan bulan Sya’ban di tempat bulan Rajab dan seterusnya[45].
Mutasyabih dari segi syarat-syarat, sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan, misalnya ibadah sholat dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.
B. Sikap Para Ulama’ terhadap ayat-ayat Mutasyabih

Menyingkapi pandangan dan pendapat para ulama’ mengenai ayat-ayat mutasyabih ini, kami ketengahkan beberapa pendapat dari kalangan ulama’ yaitu Ulama’ Tafsir, Para Imam Ahlulbait, dan Ulama’ Salaf dan Khalaf.

@ Pendapat Ulama’ Tafsir (Mufasirin)

Dikalangan ulama’ tafsir terdapat perbedaan pendapat mengenai ayat-ayat mutasyabih ini. Apakah ayat itu dapat diketahui artinya atau takwilnya atau tidak, kemudian mengenai perbedaan apakah manusia berhak mengetahui maksud yang tersembunyi itu atau hanya Allah yang tahu. Perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ ini pada intinya berawal dari pemahaman ayat 7 surat Ali Imron[46]:

هُوَ الَّذِى اَنْزَلَ عَلَيْكَ الكِتَابَ مِنْهُ اَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ اُمُّ الكِتَابِ وَاُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ. فَاَمَّاالَّذِيْنَ فِى قُلُوْبِهِمْ زَيْعٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ يَقُوْلُوْنَ أَمَنَّابِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَايَذَّكَّرُ اِلاَّ اُوْلُوْا الاَلْبَابِ.

“ Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Diantara( isi)-nya ada ayat-ayat yang Muhkamat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an, dan yang lain (ayat-ayat) Mutasyabihat. Adapun orang-orang yangdalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal “.

Dari ayat di atas, para ulama’ berbeda pendapat yang berawal dari lafadz وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ . Permasalahannya apakah lafadz itu di-athof-kan dengan lafadz اِلاَّ اللهُ , atau lafadz وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ itu merupakan mubtada’ (مُبْتَدَأْ).

Berangkat dari sinilah muncul silang pendapat dikalangan ulama. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid (dari kalangan sahabat) berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui arti dan takwil ayat-ayat mutasyabihat. Mereka ini beralasan lafadz وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ di-athofkan kepada lafadz اِلاَّ اللهُ . Menurut mereka jika hanya Allah yang mengetahui dan tidak dilimpahkan kepada manusia khususnya ulama yang mendalami ilmunya tentang ayat-ayat mutasyabihat baik tentang pengertian maupun takwil, berarti mereka sama saja dengan orang awam. Pendapat ini didukung pula oleh Hasan Al Asy’ari[47] . Hal ini pemakalah berpendapat, bahwa memang sebagian atau bahkan seluruh ayat Al Qur’an mengandung pengertian ayat mutasyabihat. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan sebagian besar ayat-ayat mutasyabihat bisa ditakwilkan pengertiannya oleh para ulama yang mendalami ilmunya (وَالرَّاسِخُوْنَ) , seperti halnya contoh QS. Al-Isro’ ayat 85, yang berbunyi :

وَيَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ, قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّى وَمَااُوْتِيْتُمْ مِنَ العِلْمِ اِلاَّقَلِيْلاً.

“ Dan mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang ruh. Katakanlah : Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi ilmu, melainkan sedikit “ (QS. Al-Isro’ : 85)

Dari ayat ini, sudah dapat kita pahami secara bersama. Didalam ayat tersebut ada ayat Muhkam dan ayat Mutasyabih, letak dari ayat muhkam adalah pengertian mengenai masalah ruh. Sesungguhnya ruh itu adalah urusan Allah, kita tidak diberi suatu ilmu melainkan hanya sedikit. Nah, ilmu yang sedikit inilah adalah termasuk ayat mutasyabih. Maka dengan pengertian ini, kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa para ulama tidak tertutup kemungkinan mereka bisa mengetahui tentang masalah ruh dengan melalui ilmu yang diberikan Allah hanya dengan sedikit ini. Bagi Allah ilmu ini sedikit, tetapi bagi ulama mungkin sangat luas sekali dalam mendalami dan mempelajarinya. Untuk itu, sama seperti halnya dengan ayat mutasyabih, Allah bukannya tidak memberitahukan tentang makna ayat tersebut, melainkan hanya sedikit dan keterbatasan ilmu yang dimiliki oleh kita manusia sehingga kita tidak bisa mengetahui takwilnya. Pendapat kami ini pula, diperkuat dengan pendapat Drs. Abu Anwar, M.Ag. Ia mengatakan : Bahwa jika Allah yang mengetahui maksud ayat-ayat mutasyabih dalam Al Qur’an, tentu saja Al Qur’an itu akan kering maknanya serta tidak menjadi rahmat bagi alam semesta. Hal ini disebabkan karena banyaknya ayat-ayat mutasyabih yang diungkapkan dalam Al Qur’an[48].

Disamping pendapat kami dan pendapat ulama lainnya yang mengatakan, bahwa ayat mutasyabih itu bisa ditakwilkan. Ada juga pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih itu tidak dapat diketahui oleh seorang pun kecuali Allah. Menurut ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cari takwil tentang ayat-ayat mutasyabih, tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata[49].

Dari dua pendapat ini, sudah kelihatan kontradiksinya. Dalam hal ini Ar-Raghib Al-Asfahani, dia mengambil jalan tengah dari dua pendapat diatas. Ar-Raghib membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga bagian[50], yaitu :
Ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, seperti waktu tibanya hari kiamat.
Ayat mutasyabih yang dapat diketahui oleh manusia (orang awam) dengan menggunakan berbagai sarana terutama kemampuan akal pikiran.
Ayat-ayat mutasyabih yang khusus hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang mendalami ilmunya dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka.

Demikianlah pokok-pokok yang merupakan pembahasan mufassirin di dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang mutasyabih.

@ Pendapat Ulama’ Salaf dan Khalaf

Dalam bagian ini, pembahasan khusus tentang ayat-ayat mutasyabih yang menyangkut sifat-sifat Tuhan, yang dalam istilah Al-Suyuthi adalah ayat Al-Shifat. Sedangkan dalam menurut istilah Shubi Al-Shalih adalah Mutasyabih Al Shifat. Adapun ayat-ayat Mutasyabih menurut sifat-sifat Tuhan adalah sebagai berikut[51] :
Pada QS. Thaha : 5, adalah sebagai berikut :

اَلرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى.

“ Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas ‘Arsy “.

Dari ayat diatas ini, muncul sebuah kisah di mana pada suatu hari Imam Malik ditanya tentang makna Istawa (bersemayam), lalu Imam Malik menjawab :

اَلاِسْتَوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ, وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ, وَاَظُنُّكَ رَجُلَ سُوْءٍ, اَجْرِجُوْهَ عَنِّى.

“ Istawa itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya adalah bid’ah. Saya duga engkau ini orang jahat, keluarkanlah orang ini dari majlis saya “

Dari penjelasan Imam Malik diatas dapat kita ambil suatu kesimpulan, bahwa lafadz Istawa dapat dimengerti, tetapi tentang bagaimananya tidaklah dapat diketahui oleh seorang pun selain Allah. Bahkan Imam Malik mengatakan bahwa pertanyaan seperti itu adalah Bid’ah[52].
Pada QS. Al Fajr : 22, adalah sebagai berikut :

وَجَاءَ رَبُّكَ وَالمَلَكُ صَفًّاصَفًّا.

“ Dan datanglah Tuhanmu; sedangkan malaikat berbaris-baris “
Pada QS. Al-An’am : 61, adalah sebagai berikut :

وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ.

“ Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi diatas semua hambanya “
Pada QS. Al Zumar : 56, adalah sebagai berikut :

يَحَسْرَتَى عَلَى مَافَرَطْتَ فِى جَنْبِ اللهِ.

“ Amat besar penyesalanku atas kelalaianku disisi Allah “
Pada QS. Ar-Rahman : 27, adalah sebagai berikut :

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُوْالْجَلاَلِ وَالاِكْرَامِ

“ Dan tetap kekallah wajah Tuhanmu “
Pada QS. Thaha : 39, adalah sebagai berikut :

وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِى

“ ……dan supaya kamu diasuh atas mataku “
Pada QS. Al-Fath : 10, adalah sebagai berikut :

يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ

“ Tangan Allah di atas tangan mereka “

Pada ayat ini, kalau kita lihat kembali dalam istilah ilmu fiqih, ayat ini termasuk dalam Manthuq Zihar, yaitu suatu lafadz yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti lain, selain arti harfiyahnya[53]. Menurut zahirnya kata يَدٌ berarti tangan, tetapi mustahil Allah mempunyai tangan. Maka tangan ini bisa ditakwilkan dengan arti kekuasaan.
Pada QS. Ali-Imran : 28, adalah sebagai berikut :

وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ

“ …..Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya “

Dalam ayat-ayat ini terdapat kata-kata bersemayam, datang, di atas, sisi, wajah, mata, tangan dan diri yang dibangsakan atau dijadikan sifat bagi Allah. Kata-kata ini menunjukkan keadaan, tempat, dan anggota yang layak bagi makhluk yang baharu, misalnya manusia. Karena dalam ayat-ayat tersebut kata-kata ini dibangsakan kepada Allah yang qodim (absolut), maka sulit dipahami maksud yang sebenarnya. Karena itu pula, ayat-ayat tersebut dinamakan mutasyabihat shifat[54]. Maka dalam hal ini timbul suatu pertanyaan, apakah maksud ayat-ayat ini dapat diketahui oleh manusia atau tidak ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Shubhi Sholih mengemukakan pendapat dua kelompok madzhab, yaitu Salaf dan Khalaf.
Madzhab Salaf

Kelompok ini mempercayai dan mengimani ayat-ayat (tentang sifat-sifat) mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah. Mereka tetap mensucikan Allah dari makna-makna lahir yang mustahil atau tidak mungkin bagi Allah[55]. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Asy-Syura ayat : 11;

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ

“ Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia “

Karena Madzhab Salaf menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula Madzhab Mufawwidhah atau Tafwidh[56]. Inilah sistem penafsiran yang diterapkan oleh Madzhab Salaf pada umumnya terdapat ayat-ayat mutasyabihat. Dalam penerapan sistem ini, mereka mempunyai dua argumen, yaitu argumen Aqli dan Naqli.

Argumen Aqli adalah bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah kebahasaan dan penggunaannya di kalangan bangsa Arab. Penentuan seperti ini, hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti). Sedangkan sifat-sifat Allah termasuk masalah aqidah yang dasarnya tidak cukup dengan argumen yang zanni. Lantaran dasar yang qath’i (pasti) tidak diperoleh, maka madzhab Salaf berkesimpulan untuk Tawaqquf (tidak memutuskan) dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal[57].

Adapun dalam argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan Atsar shahabat[58]. Akan tetapi disini kami hanya akan mengambil dua hadits saja untuk menerangkan argumen naqli ini. Adapun haditsnya adalah sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : تَلاَرَسُوْلُ اللهِ ص.م. هَذِهِ الاَيَةَ (هُوَ الَّذِى اَنْزَلَ عَلَيْكَ الكِتَابَ الى قوله- اِلاَّ اُوْلُوْا الاَلْبَابِ) قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. : فَاِذَا رَاَيْتَ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَاتَشَابَهَ مِنْهُ فَاُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرْهُمْ.(رواه البخارى ومسلم وغيرهما)

“ Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata : Rosulullah S.a.w. membaca ayat : هُوَ الَّذِى اَنْزَلَ عَلَيْكَ الكِتَابَ الى قوله- اِلاَّ اُوْلُوْا الاَلْبَابِ (QS. Ali Imron : 7). Rosulullah S.a.w. bersabda : Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat, daripadanya maka itulah mereka orang-orang yang disebutkan Allah (yaitu sesat). Maka berhati-hatilah terhadap mereka “. (HR. Imam Al Bukhori, Muslim dan lain keduanya)
مِنْ حَدِيْثِ عَمْرِ وَابْنِ شُعَيْبٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص.م. قَالَ : اِنَّ القُرْأَنَ لَمْ يَنْزِلْ لِيُكَذِّبَ بَعْضُهُ بَعْضًا فَمَاعَرَفْتُمْ مِنْهُ فَاعْمَلُوْابِهِ وَمَاتَشَابَهَ فَأَمِنُوْابِهِ. (رواه مرداويه)

“ Dari ‘Amr Ibnu Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya dari Rosulullah S.a.w. ia bersabda : Sesungguhnya Al Qur’an tidak diturunkan agar sebagiannya mendustakan sebagian yang lainnya; apa yang kamu ketahui daripadanya, maka amalkanlah. Dan apa yang mutasyabihat, maka hendaklah kamu meyakininya “. (HR. Mirdawaih).
Madzhab Khalaf

Kelompok ini adalah kelompok ulama’ yang mentakwilkan lafadz yang makna lahirnya itu mustahil kepada makna yang lain yang sesuai dengan zat Allah. Kelompok ini lebih dikenal dengan nama Muawwilah atau Madzhab Takwil[59]. Mereka mentakwilkan semua sifat-sifat yang terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat di atas dengan takwilan yang bersifat rasional, seperti contoh : Istiwa mereka takwilkan dengan pengendalian Allah terhadap alam semesta ini tanpa merasa kesulitan. Kedatangan Allah mereka takwilkan dengan kedatangan perintah-perintah Allah. Allah berada di atas hamba-Nya mereka takwilkan dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada pada suatu tempat. Kata sisi mereka mereka takwilkan dengan hak Allah. Wajah mereka, mereka takwilkan dengan zat Allah. Mata mereka, mereka takwilkan dengan penglihatan/pandangan. Tangan mereka takwilkan dengan kekuasaan Allah. Dan diri, mereka takwilkan dengan siksaan Allah[60].

Madzhab Khalaf ini, pada umumnya adalah dari kalangan ulama muta’akhirin. Imam Al-Haramain (w. 478 H)[61] pada mulanya termasuk madzhab ini, tetapi kemudian beliau menarik diri darinya. Dalam sebuah Risalah An-Nizhamiyyah, ia menuturkan bahwa prinsip yang dipegang dalam beragama adalah mengikuti madzhab salaf sebab mereka memperoleh derajat dengan cara tidak menyinggung ayat-ayat mutasyabih[62].

Menurut kami sebagai pemakalah, kenapa Imam Haramain menarik diri dari madzhab khalaf adalah karena beliau takut dan ada rasa keragu-raguan dalam hati beliau didalam mentakwilkan ayat-ayat mutasyabih. Beliau takut keliru dan terjerumus kedalam kelompok orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat sehingga dicap dalam Al Qur’an sebagai orang-orang yang sesat.

Ibnu Qutaibah (w. 276 H) menentukan dua syarat bagi absahnya sebuah penakwilan, yaitu :
makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
arti yang dipilih sudah dikenal oleh bahasa Arab Klasik.

Syarat yang dikemukakan ini lebih longgar daripada syarat kelompok Az-Zhahiriyyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal[63].

Madzhab Khalaf mengatakan ayat-ayat mutasyabihat itu sebagian bisa ditakwilkan, mereka berpegang kepada kata para sahabat-sahabat, dan para tabi’in. Seperti halnya kami kemukakan pendapat dibawah ini :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِى قَوْلِهِ (وَمَايَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ) قَالَ : اَنَامِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَأْوِيْلَهُ.

“ Dari Ibnu Abbas r.a. tentang firman Allah : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalami ilmunya. Berkata Ibnu Abbas r.a. : Saya adalah diantara orang yang mengetahui takwilnya “. (Diriyawatkan oleh Ibnu Al-Munzir)

Menurut kami selaku pemakalah, pada perkataan Ibnu Abbas r.a. diatas sudah jelas sekali, bahwa beliau mengartikan وَالرَّاسِخُوْنَ adalah di-athofkan kepada lafadz اِلاَّ اللهُ . ini berarti yang hanya bisa mengetahui takwil ayat-ayat mutasyabihat adalah Allah dan orang-orang yang mendalami ilmunya, termasuk kedalamnya adalah Ibnu Abbas r.a. sendiri. Pada dasarnya Ibnu Abbas r.a. sendiri pernah meminta dido’akan oleh Rosulullah S.a.w. supaya dia bisa memahami ilmu agama dan serta takwilannya. Adapun bunyi do’a Rosulullah S.a.w. itu adalah sebagai berikut :

اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ.

“ Ya Allah, berilah pemahaman kepadanya dalam bidang agama dan ajarkanlah takwil kepadanya “.

Dan selanjutnya ada pendapat dari Al-Dhahhak r.a. ia berkata :

الرَّاسِخُوْنَ فِى العِلْمِ يَعْلَمُوْنَ تَأْوِيْلَهُ لَوْ لَمْ يَعْلَمُوْا تَأْوِيْلَهُ لَمْ يَعْلَمُوْا نَاسِخَهُ مِنْ مَنْسُوْخِهِ وَلاَحَلاَلَهُ مِنْ حَرَامِهِ وَلاَمُحْكَمَهُ مِنْ مُتَشَابِهِهِ.

“ Orang-orang yang mendalami ilmunya mengetahui takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya mereka tidak mengetahui nasakh dan mansukhnya, halalnya dari haramnya, dan ayat muhkam dan ayat mutasyabih “. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim).

@ Pendapat Para Imam Ahlulbait

Yang kami pahami (kata Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i) dari Imam Ahlulbait adalah bahwa tidak ada ayat mutasyabih yang tidak mungkin diketahui maksudnya secara hakiki. Bahkan ayat-ayat yang tidak mandiri makna-makna hakikinya, dapat diketahui dengan perantara ayat-ayat lain[64]. Inilah yang dimaksud dengan mengembalikan ayat muhkam kepada ayat mutasyabih, seperti lahir firman Allah Ta’ala sebagai berikut :
pada QS. Thaha : 5, adalah sebagai berikut :

اَلرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى.

“ Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas ‘Arsy “.
pada QS. Al-Fath : 10, adalah sebagai berikut :

يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ

“ Tangan Allah di atas tangan mereka “

Pada kedua ayat ini menunjukkan arti Jismiyyah (jisim-jisim), yaitu seolah-olah Allah itu benda dan makhluk. Maka kita kembalikan kepada firman Allah dalam Surat Asy-Syura ayat 11, yaitu

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ

“ Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia “

Dan juga pendapat Ulama Ahlulbait, diperkuat dengan kata Imam Shadiq as sebagai berikut[65] :

اَلْمُحْكَمُ مَايُعْمَلُ بِهِ وَالْمُتَشَابِهُ مَااشْتَبَهَ عَلَى جَاهِلِهِ.

“ Muhkam adalah ayat yang dapat diamalkan, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang tidak mengetahuinya “.

Dan Imam Ridha as berkata :

مَنْ رَدَّ مُتَشَابِهَ القُرْأَنِ اِلَى مُحْكَمِهِ هُدِىَ اِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ.

“ Barangsiapa merujukkan ayat-ayat mutasyabih kepada ayat-ayat muhkam, maka dia telah ditunjukkan kepada jalan yang lurus “.

Dengan adanya dalil-dalil yang telah diutarakan oleh para ulama’ diatas, maka sudah jelaslah bahwa ayat-ayat mutasyabih itu tidak tertutup kemungkinan bisa ditakwilkan. Menurut hemat kami selaku pemakalah, bahwa Ulama’ Ahlulbait ini termasuk mendukung daripada pendapat Ulama’ Khalaf. Akan tetapi perlu kita ketahui secara bersama, bahwa tidak semua ayat-ayat mutasyabih mereka bisa takwilkan, melainkan hanya sebagian saja yang bisa mereka takwilkan. Sesungguhnya mereka sendiri mengakui bahwa ayat-ayat didalam Al Qur’an itu banyak sekali kata-kata yang penuh dengan tanda tanya, yang masih ghoib dan tak jelas. Mereka masih memerlukan petunjuk dari Allah Swt.
C. Fawatih As Suwari

Sebelum kita membahas tentang Fawatih As Suwar, adakala baiknya terlebih dahulu kita bersama-sama mengetahui apa yang dimaksud dengan Fawatih As Suwar itu sendiri ?

Fawatih As Suwar itu adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surat, ia merupakan bagian dari ayat Mutasyabih karena ia bersifat mujmal (global), mu’awwal (memerlukan takwil), dan musykil (sukar dipahami). Didalam Al Qur’an terdapat huruf-huruf awalan dalam pembukaan surah dalam bentuk yang berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu ciri kebesaran Allah dan ke MahatahuanNya, sehingga kita terpanggil untuk menggali ayat-ayat tersebut. Dengan adanya suatu keyakinan bahwa semakin dikaji ayat Al Qur’an itu, maka semakin luas pengetahuan kita. Hal ini dapat dibuktikan dengan perkembangan ilmu tafsir yang kita lihat hingga sekarang ini[66].

Adapun untuk memperjelas lagi apa itu ayat Fawatih As Suwar, maka dengan ini kami tampilkan ayat-ayatnya sebagai berikut[67] :
Awalan surah yang terdiri dari satu huruf, ini terdapat pada tiga surah.
Surah Shad. صَ. وَالْقُرْأَنُ ذِى الذِّكْرِ.
Surah Qaaf. قَ. وَالْقُرْأَنُ الْمَجِيْدُ.
Surah Al Qolam. نَ. وَالقَلَمُ وَمَايَسْطُرُوْنَ.
Awalan surah yang terdiri dari dua huruf, ini terdapat pada sepuluh surah :
Surah Al Mukmin. حم
Surah Fushilat. حم
Surah Asy-Syura. حم
Surah Az Zukhruf. حم
Surah Ad Dukhan. حم
Surah Al Jasyiah. حم
Surah Al Ahqaf. حم
Surah Thaha. طه
Surah An-Naml. طس
Surah Yasin. يس

Tujuh dari sepuluh surah diatas, ini dinamakan Hawwaamiim[68].
Awalan surah yang terdiri dari tiga huruf, ini terdapat pada tiga belas surah, yaitu :

F Enam surah diawali Alif Lam Mim (الم)
Surah Al Baqoroh
Surah Ali Imran
Surah Al Ankabut
Surah Ar Rum
Surah Luqman
Surah As-Sajadah

F Lima surah diawali dengan Alif Lam Ro (الر)
Surah Yunus
Surah Hud
Surah Yusuf
Surah Ibrahim
Surah Al Hijr

F Dua surah yang diawali dengan Tha Sin Mim (طسم)
Surah Asy Syu’ara
Surah Al Qoshosh
Awalan surah yang terdiri dari empat huruf, ini terdapat pada dua tempat, yaitu :
Surah Al A’araf. المص
Surah Ar Ra’du. المر
Awalan surah yang terdiri dari lima huruf, ini hanya terdapat pada surah Maryam, yaitu : كهيعص .

Dari ketiga belas ayat-ayat Fawatih As Suwar yang tersebut di atas, dengan ini kami selaku pemakalah (berpendapat) akan mengambil satu ayat sebagai penjelasan, yaitu Alif Lam Mim (الم). Didalam tafsir Jalalin mengenai ayat-ayat Fawatih As Suwar ini sudah dijelaskan tidak bisa ditafsirkan (menurut golongan madzhab salaf), hanya Allahlah yang Maha Mengetahui. Yaitu Alif Lam Mim ditafsirkan dengan وَاللهُ اَعْلَمُ بِمُرَدِهِ artinya “Dan Allah Maha Lebih Mengetahui dengan maksudNya”. Dan ada lagi didalam tafsir Marohi syarach Imam Nawawi, Alif Lam Mim beliau tafsirkan mengambil pendapat Imam Syu’bi dan Jama’ah, yaitu :

قَالَ الشُّعْبِى وَجَمَاعَةٌ الم وَسَائِرُ حُرُوْفِ الهِجَاءِ فِى اَوَائِلِ السُّوَّرِ مِنَ المُتَشَابِهِ الَّذِى اِنْفَرَدَ اللهُ بِعِلْمِهِ وَهِىَ سِرُّ القُرْأَنِ فَنَحْنُ نُؤْمِنُ بِظَاهِرِهَا وَنَفُوْضُ العِلْمَ فِيْهَا اِلَى اللهِ تَعَالَى. وَفَائِدَةُ ذِكْرِهَا طَلَبُ الاِيْمَانِ بِهَا.

“ Alif Lam Mim itu adalah menjadi rahasia pada seluruh huruf hijaiyah pada awal surah dari ayat mutasyabih yang telah disatukan oleh Allah dengan ilmuNya, yaitu menjadi rahasia Al Qur’an. Maka kami beriman dengan zhohirnya dan kami menuntut ilmu padanya hingga kepada Allah Ta’ala. “

Tafsiran ini, menurut kami sudah jelas bahwa Imam Syu’bi termasuk golongan madzhab salaf. Beliau tidak mau menafsirkan lafadz Alif Lam Mim ini karena beliau takut tersesat sehingga beliau mengatakan biarlah ini menjadi rahasia Al Qur’an. Akan tetapi, beliau tetap beriman dengan zhohirnya dan beliau tetap menuntut dan memohon diberikan ilmu lebih dari Allah Swt.

Dan dipenghujung tafsir Abu Bakar r.a. berkata :

فِى كُلِّ كِتَابٍ سِرٌّ وَسِرُّ اللهِ فِى القُرْأَنِ أَوَائِلُ السُّوَرِ.

“ Didalam seluruh kitab mempunyai rahasia, dan rahasia Allah didalam Al Qur’an itu ada pada awal surah “.

Hal ini bertolak belakang dengan Ibnu Abbas r.a. beliau mampu untuk menafsirkannya, yaitu kata beliau :

فِى قَوْلِهِ (الم) قَالَ : اَنَا اَللهُ اَعْلَمُ. وَفِى قَوْلِهِ (الَمَصَ) قَالَ : اَنَا اَللهُ اُفَصِّلُ. وَفِى قَوْلِهِ (الر) قَالَ : أَنَا اَللهُ اَرَى.

“ Tentang firman Allah Alif Lam Mim adalah Aku Allah Maha Mengetahui, tentang Alif Lam Mim Shodh adalah Aku Allah akan memperinci, dan Alif Lam Ro adalah Aku Allah Maha Melihat”. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari jalan Abu Al-Dhuha)

Dan ada lagi dari Ibnu Abbas r.a. dengan tafsirannya sebagai berikut :

قَالَ : الر وَ حم وَ ن حُرُوْفُ الرَّحْمَنِ مُفَرَّقَةً.

“ Tentang ( firman Allah) pada ayat Alif Lam Ro, Ha Mim, dan Nun adalah huruf-huruf Ar Rahman yang dipisahkan “. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Jalan Ikrimah)

Dan masih banyak lagi pendapat dari ulama yang menafsirkan ayat Fawatih As Suwar, seperti Salim Ibnu Abdillah, Al Saddiy, Al Baidhawi dan lain-lain. Akan tetapi disini, kami hanya menampilkan pendapat Ibnu Abbas r.a. karena menurut kami Ibnu Abbas r.a. memang patut mendapatkan anugerah yang luar biasa. Karena ia bisa mentakwilkan ayat mutasyabihat, berkat atas do’a Rosulullah S.a.w. yang sudah kami jelaskan sebelumnya.

D. Hikmahnya ada ayat Al Muhkam dan Al Mutasyabih.

Adapun hikmah yang terkandung didalam ayat-ayat Al Muhkam dan Al Mutasyabih adalah sebagai berikut :
Hikmah adanya ayat Al Muhkam adalah tidak adanya perselisihan pendapat mengenai cara pentakwilannya, adanya kesepakatan paham, tidak membuat orang menjadi syubhat, ragu-ragu, dan sesat. Dan serta menjadi suatu alat untuk bisa mentakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat.
Hikmah pada ayat Al Mutasyabih menurut As Suyuthi didalam kitab Al Itqan-nya beliau berkata :
Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
Ayat-ayat mutasyabihat ini, untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya dengan memerlukan berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, grametika, ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqh dan lain sebagainya.
Memperlihatkan kelemahan akal manusia
Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih
Dan memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman inderawi yang biasa disaksikan dan dirasakan.
Hikmah pada ayat mutasyabih menurut Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dalam bukunya Ulumul Qur’an, beliau katakan sebagai berikut :
E. Kesimpulan

Dari uraian ayat-ayat muhkam dan mutasyabih diatas, dapat dipahami sebagai berikut :
Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan barulah kita dapat memahami tentang maksud ayat.
Ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam ilmu Al Qur’an yang para ulama menilainya dengan alasan masing-masing, seperti Ulama Tafsir, Madzhab Salaf, Madzhab Khalaf dan Ulama’ Ahlulbait.
Fawatih As Suwar itu adalah kalimat-kalimat yang dipakai untuk pembukaan surat, ia merupakan bagian dari ayat Mutasyabih karena ia bersifat mujmal (global), mu’awwal (memerlukan takwil), dan musykil (sukar dipahami).
Pada penafsiran ayat Fawatih As Suwar terjadi perselisihan dua golongan ulama, yaitu golongan pertama mengatakan bahwa ayat Fawatih As Suwar itu tidak bisa ditakwilkan, mereka ini adalah Imam Syu’bi dan Jama’ah, serta tafsir Jalalin. Sedangkan golongan yang kedua ini mengatakan bahwa ayat Fawatih As Suwar itu bisa ditakwilkan, mereka ini adalah Ibnu Abbas r.a., Salim Ibnu Abdillah, Al Saddiy, Al Baidhawi dan lain-lain.



DAFTAR PUSTAKA



Al-Husni, Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki. 1999. Mutiara Ilmu-ilmu Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. terj. Rosihan Anwar.

Al Qaththan, Manna. 1975/1393. Mabahits fi Ulum Al Qur’an. Riyadh: Mansyurat Al Ashri Al Hadits.

Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim. 1988. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr.

Anshori M, Kusnadi. 2003. Ulumul Qur’an. Palembang : Pusat Penerbitan dan Percetakan IAIN Raden Fatah.

Anwar, Abu. 2005. Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar. Pekanbaru: Amzah.

As Suyuthi. Al Itqan fi Ulumul Qur’an. juz II, Dar Al Fikr.

Bakr Ismail, Muhammad Al-. 1991. Dirasat fi Ulum Al Qur’an. Dar Al Manar.

Departemen Agama RI. 1989. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : Toha Putra.

Shihab, M. Quraish. 1992. Membumikan Al Qur’an. Bandung : Mizan.


Shiddieqy, Hasbi Ash-. 1995. Ilmu-Ilmu Al Qur’an. Jakarta : Bulan Bintang.

Subhi Soleh, Dar Al-. 1993. Mabahits fi Ulumul Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus. Terjemahan Pustaka Firdaus.

Thabathaba’i, Sayyid Muhammad Husain. 2000. Memahami Esensi Al Qur’an. Jakarta : Lentera.


Wahid, Ramli Abdul. 1993. Ulumul Qur’an. Jakarta : Rajawali.
[34] Abu Anwar, Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar. (Pekanbaru: Amzah, 2005), cet. II, hlm. 77


[35] As Suyuthi, Al Itqan fi Ulumul Qur’an, juz II, Dar Al Fikr, hlm. 2

[36] Muhammad Al Bakr Ismail, Dirasat fi Ulum Al Qur’an, cet I, Dar Al Manar, 1991, hlm. 211

[37] Manna, Al Qaththan, Mabahits fi Ulum Al Qur’an, (Riyadh: Mansyurat Al Ashri Al Hadits, 1975/1393), hlm. 232

[38] Dar Al Subhi Soleh, Terjemahan Pustaka Firdaus, Mabahits fi Ulumul Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 372

[39] Anshori M, Kusnadi. Ulumul Qur’an, (Palembang : Pusat Penerbitan dan Percetakan IAIN Raden Fatah, 2003), cet. I, hlm. 51

[40] Ibid,. hlm. 51

[41] Anwar, op. cit., hlm. 78-79

[42] Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) jilid II, hlm. 278.

[43] As-Syuyuthi, op.cit., hlm. 2.

[44] Ibid, hlm. 5.

[45] Kusnadi, op. cit., hlm. 54.

[46] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : Toha Putra, 1989) hlm. 76.

[47] Subhi Soleh, op.cit., hlm. 373.

[48] Lihat Abu Anwar, Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar, op. Cit., hlm. 82-83.

[49] Ibid., hlm. 83.

[50] Subhi Soleh, op.cit., hlm. 372.

[51] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta : Rajawali, 1993). Cet. 1, hlm. 90.

[52] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahan, op. Cit., hlm. 476.

[53] Manthuq menurut bahasa adalah diucapkan, sedangkan menurut istilah yaitu :

مَادَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ فِى مَحَلِ النُّطْقِ

“ Apa yang ditunjukkan oleh lafadz sesuai dengan yang diucapkan “

[54] Wahid, op. Cit., hlm. 91.

[55] Subhi Sholih, op. Cit., hlm. 284.

[56] Wahid, loc. Cit.

[57] Ibid, hlm. 92.

[58] Ibid, hlm. 93-94.

[59] Subhi Sholih, loc. Cit.

[60] Anwar, op. Cit., hlm. 86.

[61] Imam Al-Haramain adalah Abdul Malik bin Abi Abdillah bin Yusuf bin Muhammad Al-Juwaini Asy-Syafi’i Al-‘Iraqi, Abu Al-Ma’ali. Ia adalah gurunya Imam Al-Ghazali dan murid terkemuka Imam Asy-Syafi’i. Untuk biografi lengkapnya silakan baca dalam kitab Wafayat Al-A’yan. Jilid I, hlm. 287.

[62] Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni, Mutiara Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Rosihan Anwar, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), hlm. 142-144.

[63] M. Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 91.

[64] Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Memahami Esensi Al Qur’an, (Jakarta : Lentera, 2000), cet. II, hlm. 46.

[65] Tafsir Al-‘Iyasyi, juz I, hlm. 162.

[66] Anwar, op. Cit., hlm. 89.

[67] Ibid, hlm. 89-91.

[68] Hawwaamiim adalah jamak dari haa miim, yaitu surah-surah yang diawali dengan huruf ha dan mim. Lihat pada Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm. 124.

Fawatih assuwar wal Khowatim

BAB I

A .Pendahuluan
Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan nikmat kepada kita semua dan shalawat beserta salam senantiasa kita curahkan kehadirat nabi Muhammad saw beserta keluarganya dan sahabat-sahabatnya serta para pengikutnya yang setia pada sunahnya sampai ahkir jaman Amin ya rabbal ‘alamin.
Allah swt menurunkan al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia yang didalamnya menjelaskan segala sesuatu dan tidak akan pernah sesat orang nyang menjadikan nya sebagai pedoman bagi kehidupan sehari-hari.maka seyogianyalah setiap orang islam harus senantiasa mempelajari dan mengkaji apa-apa nyang ada didalamnya karena semakin banyak kita mengkaji al-qur’an maka akan semakin banyak kita menemukan khazanah keilmuan yang ada didalamnya serta hikmah-hikmah nyang belum kita dapat sebelumnya.maka dalam makalah yang singkat ini kami selaku pemakalah akan mencoba menjelaskan sebagian kecil dari ulumul qur’an nyang berkisar tentang fawatih al-suwar ada poin-poin nyang akan kami ketengahkan sebagai berikut:
Ø Pegertian fawatih al-suwar
Ø Macam-macam fawatih al-suwar
Ø Pendapat ulama tentang fawatih al-suwar
Ø Urgensi mempelarari tentang fawatih al-suwar
Dalam makalah yang singkat ini masih banyak terdapat kekurangan itu disebabkan karena keterbatasan kami selaku pemakalah maka kami mohon ma’af serta keritik dan saran sangat kami harapkan dari teman-teman demi untuk perbaikan makalah ini, tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih kepada bpk Drs.H Mursal syah Mag dan ibu Dra H Sarmida hanum Mag sebagai dosen yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.dan akhir dari segalanya kami serahkan kepada Allah swt mudah-mudahan makalah ini dapat bermanpa’at Amin ya rabbal ‘alamin.




BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengrtian Fawatih al-Suwar
Secara bahasa, fawatih al-suwar adalah pembukaan-pembukaan surat yang terdapat dalam al-qur’an, karena posisinya terletak diawal surat dalam al-qur’an. Seluruh surat dalam al-qur’an di buka dengan sepuluh macam pembukaan dan tidak ada satu surat pun yang keluar dari sepuluh macam tersebut. Setiap macam pembukaan memiliki rahasia tersendiri sehingga sangat penting untuk kita pelajari.
Diantara pembuka surat itu diawali dengan hurupf-huruf terpisah (al-Ahruf al-Munqata’ah). Dan orang sering mengidentikan dengan fawatih al-suwar. Dan diantara ulama yang mengidentikannya adalah Manna Khalil al-Qathan dalam karya nya ‘‘Mabahis Fi Ulum al-Qur’an’’[1] padahal huruf al-Muqaththa’ah bagian dari fawatih al-suwar.
B. Macam-Macam fawatih al-suwar.
Beberapa ulama telah melakukan penelitian tentang fawatih al-suwar dalam al-Qur’an, diantaranya adalah imam al-Qasthalani, beliau membagi kepada sepuluh macam. Sementara ibnu Abi al-Isba juga telah melakukan penelitian dan beliau membagi kepada lima macam saja. [2] dan dalam pembahasan ini kami akan mengetengahkan pendapat al-Qasthalani : Adapun sepuluh macam menurut beliau adalah:
1.Pembukaan pujian kepada Allah swt.
Pujian kepada Allah ada dua macam yaitu:
a. menetapkan sifat-sifat terpuji (الاءثبات الصفات الماض). Dengan manggunakan lafaz yaitu: 1)memakai lafaz hamdalah yakni dibuka dengan الحمد لله yang terdapat dalam lima surat. [3] 2) memakai lafaz تبارك terdapat dalam dua surat. [4]
b. Mensucikan Allah dari sifat-sifat negatif (تشبح عن صفات نقص) dengan menggunakan lafaz tasbih (يسبح, سبح, سبح, سبحن). Sebagai mana terdapat dalam tujuh surat.[5]


2. Pembukaan dengan panggilan (الا ستفتح بنداء)
Nida disini ada 3 macam, yaitu Nida untuk nabi, misalnya (ياايها النبي) terdapat dalam tiga surat[6]. Nida untuk Mukminin (ياايها الذين امنوا) terdapat tiga surat. Dan Nida untuk manusia (ياايها الناس) terdapat dalam dua surat .
3. Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus (الا ستفتح بالاحرف المنقطعه)
Pembukaan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surat dengan memakai 14 surat tanpa diulang yaitu: ا, ى, ه, ن, م, ل, ق ,ع, ط, ص, س, ر,ح. Penggunaan huruf-huruf di atas dalam fawatih al-Suwar disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari beberapa bentuk sebagai berikut:
a. Terdiri dari satu huruf, terdapat dalam tiga surat yakni ص (QS.Shad),ق (QS.Qaf), dan ن (QS, Qalam).
b.Terdiri dari dua huruf, terdapat dalam 10 surat, 7 surat dinamakan Hawamim(surat-surat yang dibuka dengan Hamim), yakni: (QS, Al-Mukmin,Al-fussilat, Al-surra, Al- Zuhruf, Al- Dukhan, Al- Jatsiah, Al- Ahqaf), طه (QS, Taha), طس (QS, Naml) يس (QS, Yasin).
c.Terdiri dari tiga huruf, enam surat dimulai dengan الم yaitu: (QS, Al-Baqarah, Al- Imran, Al-Ankabut, Ar-Rum, Lukman, dan Al-Sajdah), lima surat dimulai denganاالر yaitu: (QS, Yunus, Hud, Ibrahim, Yusuf dan Al-Hijr), dan dua surat dimulai denganطسم yaitu: (QS, Qashash dan Asy-Syuaro).
d..Terdiri dari empat huruf yaitu: المر (QS, Al-Ara’ad) dan المص (QS, Al-A’raf).
e. Terdiri dari lima huruf yaitu: كهيعص (QS, Maryam), dan حم عسق (QS, Al-Syuara).

4. Pembukaan dengan sumpah (الاءتتفناح بقسام)
Terdapat dalam 16 surat dibagi kepada tiga bagian sebagai berikut:
a. Sumpah dengan benda angkasa misalnya: والنجم (QS, An-Nazm), والسماء والطارق (QS, Ath-Thariq), dan lain-lain.
b. Sumpah dengan benda bawah misalnya: والتين (QS, At-Tin), والعديت (QS, Al_’Adiyat), dan lain-lain
c. Sumpah dengan waktu misalnya: والعصر (QS, Al-Ashr), واليل (QS, Al-Lail), dan lain-lain.

5.Pembukaan dengan kalimat (jumlah) Khabariah ada 23 surat dan dibagi dua macam sebagai berikut:
a. Jumlah ismiyah, jumlah ismiyah menjadi pembuka surat yang terdiri dari 11 surat yaitu: براءة من الله ورسوله (QS, At-Taubat), سورة انزلناها وفرضناها (QS, An-Nur).
b. Jumlah fi’liyah, jumlah fi’liyah yang menjadi pembuka surat terdiri dari 12 surat yaitu: يسئلونك عن الانفال (QS, Al-Anfal), قد افلح المؤ منون (QS, Al-Mukminun) dan lain-lain.
6. Pembukaan dengan Syarat (الاءستفتاح با لشرط)
Terdiri dari tujuh surat misalnya اذالشمس كورت (QS, At-Takwir).اذالسماء انفطرت (QS, Al Inpithar) dan lain-lainnya.
7.Pembukaan dengan kata perintah.
Adapun pembukaannya terdiri dari enam surat yaitu: dengan kata اقرا dalam surat Al-Alaq, dan dengan kata قل dalam surat al-Jin, al-Kfirun, al-Falaq, dan al-Annas.
8 Pembukaan dengan pertanyaan.(al-Istiftah bil Istifham).
Bentuk nya ada dua dan terdapat empat surat dalam al-Qur’an. Yaitu:
a. Pertanyaan fositif misalnya: هل اتي علي الانسان (QS. Ad-dahr).
b. Pertanyaan negatif misalnya: الم نشرح لك صدرك (QS, Al-Insyirah).
9. Pembukaan dengan do’a
Ada tiga surat didalam al-Qur’an. Misalnya:ويل للمطففين (QS, Al-Muthaffifin).
10.Pembukaan dengan alasan (al-Istiftah bit-Ta’lil).
Ada satu surat didalam al-Qur’an. Misalnya لايلف قريش (QS. Al-Qurais).
C. Pendapat Ulama Tentang Fawatih al-Suwar.
Para ulama banyak yang membicarakan masalah ini diantara mereka ada yang berani menafsirkan nya, yang mana huruf-huruf itu adalah rahasia yang Allah saja yang mengetahuinya. Ada pun penafsiran ulama itu adalah sebagai berikut:
1.As-Suyuti menukil pendapat ibnu Abbas tentang hurup tersebut adalah sebagai berikut: diantaranya: الم berarti الله اعلم انا yang berarti hanya aku yang paling tahu kemudian المص yang berarti A’lamu wa Afshilu yaitu hanya aku yang paling mengetahui dan yang menjelaskan suatu perkara, sedangkan المر berarti Ana Ara yang berarti aku melihat. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa makna كهيعص yaitu Kaf dari kata Karim yang berarti mulia, Ha adalah Hadin yang berarti memberi petunjuk, Ya adalah Hakim yang berarti yang maha bijaksana, Ain yaitu Alim yang berarti yang maha mengetahui, dan Shad yaitu Shadiq yang berarti yang maha Benar.[7]dan sebagainya.Dikatakan bahwa pendapat ini hanyalah dugaan saja. kemudian As-Suyuti menerangkan bahwa hal itu merupakan rahasia yang hanya Allah swt sendiri yang mengetahuinya.[8]
2. Az- Zarkasyi berkata dalam tafsirnya ‘al-Qassyaf tentang huruf-huruf itu bahwa di dalamnya terdapat beberapa pendapat yaitu: merupakan rahasia Allah yang hanya Allah sendiri nyang mengetahuinya. Atau merupakan nama surat, dan sumpah Allah swt dan supaya dapat menarik perhatian orang yang mendengarnya.
3. Al-Quwaibi mengatakan bahwasanya kalimat itu merupakan peringatan bagi nabi, mungkin pada saat itu beliau dalam keadaan sibuk, maka Allah menyuruh Jibril untuk memberikan perhatian terhadap apa yang disampaikan kepadanya.
4. As-sayyid rasyid ridha tidak membenarkan al-quwaibi diatas, karena nabi senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu. Rasyid ridha berpendapat sesuai dengan ar-Razi bahwa tanbih ini sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang musyrik mekkah dan ahli kitab madinah. Karena orang-orang kafir apabila nabi membaca al-Qur’an mereka satu sama lain menganjurkan untuk tidak mendengarkannya, seperti dijelaskan dalam surat fushilat ayat 26.
5. Ulama salaf berpendapat bahwa ‘‘Fawatih al-Suwar’’ telah disusun semenjak jaman azali, yang demikian itu melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkan seperti al-Qur,an.
Oleh karena I’tiqad bahwa huruf-huruf itu telah sedemikian daari azalinya, maka banyaklah orang yang telah berani menafsirkannya dan tidak berani mengeluarkan pendapat yang tegas terhadap huruf-huruf tersebut.[9]
D. Urgensi mempelajari tentang Fawatih as-Suwar
Banyak sekali urgensi yang kita dapat dalam mengkaji Fawatih al-Suwar. Adapun sebagian dari urgensinya sebagai berikut:
Sebagai Tanbih( peringatan ) dan dapat memberikan perhatian baik bagi nabi,maupun umatnya dan dapat menjadi pedoman bagi kehidapan ini.
Sebagai pengetahuan bagi kita yang senantiasa mengkajinya bahwa dalam fawatih as-suwar banyak sekali hal-hal yang mengandung rahasia-rahasia Allah yang kita tidak dapat mengetahuinya.
Sebagai motivasi untuk selalu mancari ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Dengan cara beriman dan beramal shaleh dan menambah keyakinan kita bahwa al-Qur’an itu adalah benar-benar kalam Allah swt.
Untuk menghilangkan keraguan terhadap al-Qur,an terutama bagi kaum mislimin yang masih lemah imannya karena sangat mudah terpengaruh oleh perkataan musuh-musuh islam yang mengatakan bahwa al-qur’an itu adalah buatan Muhammad. dengan mengkaji Fawatih al-Suwar kita akan merasakan terhadap keindahan bahasa al-Qur’an itu sendiri bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah swt.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah ini adalah :
Ø Fawatih as-suwar adalah pembuka-pembuka surat, karena posisinya di awal surat dalam al-quran menurut al-Qasthalani seluruh surat dalam al-quran dibuka dengan sepuluh macam pembukaan dan tidak ada satu surat pun yang keluar dari sepuluh macam tersebut, sedangkan menurut Ibnu abi al-Isba’ hanya lima macam saja
Ø Para ulama berpendapat bahwa huruf-huruf fawatih as-suwar itu secara umum telah sedemikian azali maka banyak ulama yang tidak berani menafsirkannya dan tidak berani mengeluarkan pendapat yang tegas terhadap makna huruf-huruf tersebut.
Ø Adapun urgensi mempelajari fawatih as-suwar itu secara pokok adalah bagaimana supaya bertambah keimanan kita dan keyakinan kita terhadap kebenaran ayat-ayat Allah swt. Dan menjadi pedoman dalam kehidupan kita.

B. Khawatim al-Suwar
Sebagaimana pembuka surat, penutup surat pun memiliki keindahan tertentu. Alasannya, penutup surat merupakan akhir kesan yang didengar (dibaca) dari surat yang bersangkutan. Oleh karena itu, penutup surat memuat kandungan yang sarat dengan makna.

1. Pengertian
Khawatim merupakan bentuk jamak dari kata khatimah, yang berarti penutup atau penghabisan. Secara bahasa, khawatim al-suwar berarti penutup surat-surat Al Qur’an. Menurut istilah khawatim al-suwar adalah ungkapan yang menjadi penutup dari surat-surat al Qur’an yang memberi isyarat berakhirnya pembicaraan sehingga merangsang untuk mengetahui hal-hal yang dibicarakan sesudahnya.

2. Macam Khawatim Al-Suwar
Imam As Suyuthi dalam membahas khawatim al-suwar tidak begitu rinci sebagaimana menerangkan fawatihus suwar. Ia menerangkan beberapa bentuk term sebagai penutup dari surat-surat tersebut. Di situ diterangkan bahwa penutup surat diantaranya berupa : do’a, wasiat faroidl, tahmid, tahlil, nasihat-nasihat, janji dan ancaman, dll.[7]

Menurut sementara penelitian terhadap penutup surat-surat al Qur’an sedikitnya fawatihus suwar ada 18 macam[8], yaitu :
a. Penutup dengan mengagungkan Allah (At Ta’dzim) terdapat dalam 17 surat, yaitu : 1). Q.S. Al Maidah, 2). Al Anfal, 3). Al Anbiya, 4). An Nur, 5). Lukman, 6). Fathr, 7). Fushilat. 8). Al Hujurat, 9). Al Hadid, 10). Al Hasyr, 11). Al Jum’ah, 12). Al Munafiqun, 13). At Thaghabun, 14). At Thalaq, 15). Al Jin, 16). Al Mudatsir, 17). Al Qiyamah, dan 18). At tin.[9]
b. Penutupan dengan anjuran ibadah dan tasbih, terdapat dalam 6 surat, yaitu : 1). Q.S. al A’raf, 2). Hud, 3). Al Hijr, 4). At Thur, 5). An Najm, dan 6). Al ‘Alq.
c. Penutupan dengan pujian (at Tahmid).[10] Terdapat dalam 11 surat. Yakni : 1). Q.S. Al Isra, 2). An Naml, 3). Yasin, 4). As Shaff, 5). As Shafat, 6). Az Zumar, 7). Al Jatsiyah, 8). Ar Rahman, 9). Al Waqi’ah, 10). Al Haqqah, dan 11). An Nashr.
d. Penutupan dengan do’a, terdapat dalam 2 surat, yaitu : 1) Q.S. Al Mu’minun, 2). Al Baqoroh..
e. Penutupan dengan wasiat, terdapat dalam 7 surat, yaitu : 1). Ar Rum, 2). Ad Dukhan, 3). As Shaff, 4). Al A’la, 5). Al Fajr, 6). Ad Duha, 7). Al ‘Ashr.
f. Penutupan dengan perintah dan masalah taqwa, terdapat dalam Q.S. Ali Imron, An Nahl, dan Al Qomar.
g. Penutupan dengan masalah kewarisan, terdapat dalam Q.S. An Nisa.
h. Penutupan dengan janji dan ancaman, di antaranya terdapat dalam Q.S. Al Mujammil, Al Humazah, dll.
i. Penutupan dengan hiburan bagi Nabi saw., terdapat dalam Q.S. Al Kautsar, Al Kafirun, dll.
j. Penutupan dengan sifat-sifat Al Qur’an, seperti dalam Q.S. Yusuf, Q.S. Shad, dan Q.S. Al Qolam.
k. Penutupan dengan bantahan (al jadl), terdapat dalam Q.S. Ar Ra’d.
l. Penutupan dengan ketauhidan, terdapat dalam Q.S. At Taubah, Q.S. Ibrahim, Q.S. Al Kahfi, Q.S. Al Qashash, dll.
m. Penutupan dengan kisah, terdapat dalam Q.S. Maryam, at Tahrim, ‘Abasa, dan Al Fil.
n. Penutupan dengan anjuran jihad, terdapat dalam Q.S. Al Haj.
o. Penutupan dengan perincian maksud, seperti terdapat dalam Q.S. Al Fatihah, As Syu’ara, At Takwir, dll.
p. Penutupan dengan pertanyaan, seperti dalam Q.S. Al Mulk dan Al Mursalat.

C. Aqsam Al Quran
Ibnu Qoyyim dengan secara khusus mengulas masalah qosam ini dalam kitabnya, yaitu at Tibyan fi Ulumil Qur’an disitu beliau membahas secara panjang lebar hal-hal yang berhubungan dengan sumpah Allah SWT. Kedudukan Qosam dalam al Qur’an ada yang di awal surat dan ada pula selain di awal surat. Dalam makalah ini, penulis membatasi aqsam yang ada kaitannya dengan fawatihus suwar.

1. Pengertian Aqsam Al Qur’an
Aqsam adalah bentuk jama’ dari qasam yang berarti al half dan al yamin yang keduanya berarti sumpah. Qasam difenisikan sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu, dengan ‘suatu makna’ yang dipandang besar, agung baik secara hakiki maupun secara I’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu”.[11] Aqsamul Qur’an, yaitu sumpah-sumpah yang disampaikan oleh Allah SWT. untuk meyakinkan kebenaran risalah yang dibawa oleh utusan-Nya, Muhammad saw.

2. Unsur-Unsur Shighat Qasam
Yang menjadi unsur-unsur sighat qasam ada tiga, yaitu : Fi’il Qosam, Muqsam bih, dan muqsam ‘alaih.
a. Fi’il Qosam
Sighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau “ahlafa” yang di-muta’addi(transitif)-kan dengan “ba” untuk sampai kepada muqsam bih. Oleh karena qasam sering digunakan dalam percakapan maka ia diringkas, yaitu fi’il qasam dihilangkan dan dicukupkan dengan “ba”. Kemudian “ba” pun diganti dengan “wawu’ yang dikenal dengan “wawu” qosam. Dalam fawatihus suwar, fi’il qasam digunakan dalam dua surat saja, yaitu surat Al Balad dan surat Al Qiyamah. Dan surat-surat yang diawali dengan sumpah semuanya surat Makiyyah.

b. Muqsam Bih
Muqsam bih adalah sesuatu yang digunakan untuk bersumpah, atau alat untuk bersumpah. Allah bersumpah dengan zat-Nya yang kudus dan mempunyai sifat-sifat khusus atau dengan ayat-ayat-Nya yang memantapkan eksistensi dan sifat-sifat-Nya. Dan sumpah-Nya dengan sebagian makhluk menunjukkan bahwa makhluk itu termasuk salah satu ayat-Nya yang besar. Menurut Muhammad Ahmad Ma’bad[12], Allah SWT. bersumpah dengan makhluk-Nya atas beberapa segi :
1) Sumpah dengan membuang mudof, contoh :
ÈûüÏnG9$#ur È بمعنى ورب التين
2) Orang-orang Arab sebelum turun Al Qur’an mereka mengagumi makhluk-makhluk itu dan mereka bersumpah dengannya. Maka Qur’an turun sebagaimana yang mereka ketahui.
3) Sumpah-sumpah itu keadaannya mengagungkan yang bersumpah dan memuliakannya.

c. Muqsam ‘Alaih
Muqsam ‘alaih ialah sesuatu yang karenanya sumpah diucapkan yang dinamakan dengan jawab qosam. Menurut penelaahan Ibnu Qoyyim[13] keadaan muqsam ‘alaih adalah urusan-urusan yang ghaib dan tersembunyi. Adapun urusan-urusan yang dhahir, tidak perlu disumpahi seperti adanya matahari, bulan dan sebagainya.
Adapun hakikat yang disumpahi menurut Ibnu Qoyyim[14] ada lima hal yaitu :
1) Pokok-pokok keimanan, seperti dalam Q.S. As Shofat
ÏM»¤ÿ¯»¢Á9$#ur $yÿ¹ ÇÊÈ ÏNºt�Å_º¨“9$$sù #\�ô_y— ÇËÈ ÏM»uŠÎ=»G9$$sù #·�ø.ÏŒ ÇÌÈ ¨bÎ) ö/ä3yg»s9Î) Ó‰Ïnºuqs9
1. Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya
2. Dan demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya (dari perbuatan-perbuatan maksiat),
3. Dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran,
4. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.

2) Kebenaran Al Qur’an, seperti dalam Q.S. Ad Dukhon :
üNm ÇÊÈ É=»tGÅ6ø9$#ur ÈûüÎ7ßJø9$# ÇËÈ !$¯RÎ) çm»oYø9t“Rr& ’Îû 7's#ø‹s9 >px.t�»t6•B 4 $¯RÎ) $¨Zä. z`ƒÍ‘É‹ZãB ÇÌÈ $pkŽÏù ä-t�øÿム‘@ä. @�øBr& AOŠÅ3ym ÇÍÈ #\�øBr& ô`ÏiB !$tRωYÏã 4 $¯RÎ) $¨Zä. tû,Î#Å™ö�ãB Ç
1. Haa miim
2. Demi Kitab (Al Quran) yang menjelaskan,
3. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.
4. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah
5. (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul,

3) Allah bersumpah bahwa Rasul itu benar, seperti dalam Q.S. Yasin :
û§ƒ ÇÊÈ Éb#uäö�à)ø9$#ur ÉO‹Å3ptø:$# ÇËÈ y7¨RÎ) z`ÏJs9 tûüÎ=y™ö�ßJø9$# ÇÌÈ 4’n?tã :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡•B ÇÍÈ Ÿ@ƒÍ”\s? Í“ƒÍ•yèø9$# ËLìÏm§�9$# ÇÎ
1. Yaa siin
2. Demi Al Quran yang penuh hikmah,
3. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul,
4. (yang berada) diatas jalan yang lurus,
5. (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang,

4) Allah bersumpah bahwa balasan, janji dan ancaman itu benar akan terjadi, seperti dalam Q.S. Ad Dzariyat :
ÏM»tƒÍ‘º©%!$#ur #Yrö‘sŒ ÇÊÈ ÏM»n=ÏJ»ptø:$$sù #\�ø%Ír ÇËÈ ÏM»tƒÌ�»pgø:$$sù #ZŽô£ç„ ÇÌÈ ÏM»yJÅb¡s)ßJø9$$sù #·�øBr& ÇÍÈ $oÿ©VÎ) tbr߉tãqè? ×-ÏŠ$Ás9 ÇÎÈ ÏM»tƒÍ‘º©%!$#ur #Yrö‘sŒ ÇÊÈ ÏM»n=ÏJ»ptø:$$sù #\�ø%Ír ÇËÈ ÏM»tƒÌ�»pgø:$$sù #ZŽô£ç„ ÇÌÈ ÏM»yJÅb¡s)ßJø9$$sù #·�øBr& ÇÍÈ $oÿ©VÎ) tbr߉tãqè? ×-ÏŠ$Ás9 ÇÎÈ ¨bÎ)ur tûïÏe$!$# ÓìÏ%ºuqs9 ÇÏÈ
1. Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan kuat.
2. Dan awan yang mengandung hujan,
3. Dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah.
4. Dan (Malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan[1414],
5. Sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar.
6. Dan Sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi.

5) Keadaan manusia, seperti Q.S. 92: 1, Q.S. 100: 1.
È@ø‹©9$#ur #sŒÎ) 4Óy´øótƒ ÇÊÈ Í‘$pk¨]9$#ur #sŒÎ) 4’©?pgrB ÇËÈ $tBur t,n=y{ t�x.©%!$# #Ós\RW{$#ur ÇÌÈ ¨bÎ) ö/ä3u‹÷èy™ 4Ó®Lt±s9 ÇÍÈ
1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang),
2. Dan siang apabila terang benderang,
3. Dan penciptaan laki-laki dan perempuan,
4. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda.


3. Macam-Macam Qasam
Qasam itu adakalanya zahir (jelas, tegas) dan adakalanya mudmar (tersembunyi, tersirat).
a. Zahir
Zahir ialah sumpah yang di dalamnya disebutkan fi’il qasam dan muqsam bih. Dan di antaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jarr berupa “ba”, “wawu” dan “ta”.


b. Mudmar
Yaitu yang di dalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “lam taukid” yang masuk ke dalam jawab qosam, seperti firman Allah dalam Q.S. Ali Imron: 186
žcâqn=ö7çFs9 þ’Îû öNà6Ï9ºuqøBr& öNà6Å¡àÿRr&ur
(kamu sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu). Maksudnya, Demi Allah, kamu sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.

4. Faedah Qosam
Al Qur’anul Karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman, menegakkan hujjah, menguatkan kabar dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
Sebagaimana diterangkan di atas, bahwa pada fawatihus suwar terdapat qasam, karena yang dihadapi adalah orang-orang Arab Jahillyah yang notabene mereka meragukan keesaan Allah SWT. dan kebenaran Nabi Muhammad saw. Gibb mengatakan :”Pada awal Muhammad saw. menyiarkan agama, wejangan-wejangan dikeluarkan dalam gaya orakel yang ngotot, berbentuk kalimat pendek bersajak, kerap kali samar, dan kadang-kadang didahului oleh satu atau beberapa sumpah menurut adat” [15] Sementara itu mereka mengagumi ciptaan-ciptaan-Nya. Maka Allah SWT. memakai sumpah-sumpah dengan apa yang mereka kagumi.

D. Kaitan Fawatihus suwar, Khawatimus suwar dan Aqsam dengan pesan surat

Al Qur’an memang benar-benar wahyu dari Allah SWT. yang mengandung mukjizat ditinjau dari berbagai segi, termasuk dengan pembuka dan penutup surat-surat yang para ulama berusaha mengungkap rahasia-rahasia di balik itu semua.
Menurut Ahli bayan dari segi balaghah, fawatihus suwar merupakan husnul ibtida karenanya kalimat pertama merupakan kalimat yang akan mempengaruhi hati si pendengar, sebagai kesan pertama. Begitu juga dalam Khawatim, dengan penutup yang indah akan memberikan kesan yang indah yang akan membuat si pendengar penasaran ingin mendengarkan selanjutnya. Kata As Suyuthi[16] dengan sampainya pada penutup surat, pembaca sangat puas atas uraian yang telah dikemukakan oleh surat bersangkutan sehingga tidak ada perasaan heran yang tersisa.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa di antara Fawatihus suwar adalah huruf-huruf muqoto’ah yaitu huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: alif laam miim, alif laam raa, alif laam miim shaad dan sebagainya. Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan : Diantara ahli-ahli tafsir ada yang menyerahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasyaabihaat, dan ada pula yang menafsirkannya. Di bawah ini adalah beberapa pendapat tentang fawatihus suwar (al ahruful muqoto’ah) :
Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, sebagaimana pendapat Abdurrhman bin Zaid bin Aslam.[17]
Golongan yang berpendapat bahwa huruf-huruf abjad itu gunanya untuk menarik perhatian para pendengar supaya memperhatikan Al Quran itu, dan untuk mengisyaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad. Kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad s.a.w. semata-mata, maka cobalah mereka buat semacam Al Quran itu.[18]
Golongan yang berpendapat bahwa ia itu adalah nama dari nama-nama Allah Ta’ala. Pendapat ini dikemukakan oleh Salim bin Abdullah dan As Sudy yang bersumber dari Ibnu Abbas dengan menerangkan alif laam miim dengan alif (Ana) lam (Allah), mim (a’lamu).[19]
Ar Razi mengutip pendapat Abul Aliyah yang berpendapat bahwa huruf-huruf itu isyarat mengenai masa keberadaan kaum yang diterangkan dalam surat tersebut. Misalnya alif masa satu tahun lam 30 tahun dan min 40 tahun.[20]
Menurut Al Hubbi, awal surat yang berupa merupakan bentuk peringatan kepada Nabi SAW. Dikatakan bahwa Allah mengetahui bagian-bagian waktu yang nabi sebagai seorang manusia kadang sibuk. Maka dari itu Jibril menyampaikan Firman Allah seperti alif lam min dengan suara Jibril, supaya nabi menerima dan memperhatikannya.[21]

Dr. Nashr Hamid menerangkan, "apabila dikoleksi pendapat-pendapat mengenai huruf-huruf muqoto'ah maka akan mencapai tiga belas ta'wil. Dan masing-masing ulama tidak dapat memaksakan pendapatnya pada satu pendapat".[22]

Dalam Kitab Al Qowaidul Hisan fit Tafsiril Qur’an[23] disebutkan Allah SWT. menutup ayat-ayat-Nya dengan Al Asmaul Husna dengan tujuan menjelaskan bahwasanya hukum yang disebutkan dalam surat tersebut berkaitan dengan Nama-Nya. Selanjutnya di dalam kitab tersebut disebutkan kalau kita mencermati ayat-ayat yang diakhiri dengan Asmaul Husna, kita akan mendapati bahwasanya syari’at, perintah dan makhluk semuanya berasal dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, yang kita terikat dengannya.

Ada keserasian yang mendalam antara pembuka, ayat setelahnya bahkan dengan penutup surat yang bersangkutan. Sebagai contoh di dalam surat al-fatihah ada ayat yang berbunyi :
$tRω÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ
Artinya, “Tunjukilah Kami jalan yang lurus”.

Ayat di atas mengandung permohonan untuk memperoleh hidayah. Dalam surat al-Baqoroh, Allah SWT. Mengabulkan permohonan tersebut dengan membuka dengan tiga huruf yang terpotong-potong disambung dengan ayat keduanya yang menerangkan bahwa petunjuk yang dipinta itu adalah al-Qur’an yang tidak diragukan lagi. Selanjutnya diterangkan berbagai aturan-aturan yang harus dijalankan. Maka sebagai manusia yang lemah, maka Allah menuntun kepada kita di akhir surat al-Baqoroh itu dengan do’a, permohonan agar jangan diberi beban yang terlalu berat, agar dikuatkan dalam melaksanakannya, dan agar diberi pertolongan dalam mengemban tugas tersebut dari gangguan-gangguan orang-orang yang tidak suka petunjuk Allah tegak di muka bumi ini. Wallahu a’lam bis showab.
Selanjutnya pembahasan secara detail yang berhubungan dengan kaitan ayat dengan ayat, surat dengan surat akan dibahas pada materi Munasabah bainal ayat wal ayat ….




E. Nilai-nilai pendidikan dalam Fawatihus suwar, Khawatimus suwar dan Aqsamul qur’an
Kondisi peserta didik bermacam ditinjau dari berbagai sisi. Oleh sebab itu perlu diadakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode yang mengantarkan peserta didik sampai pada tujuan yang ingin ia capai. Dalam Fawatihus suwar dan khawatimus suwar kita dapat menemukan formula-formula dalam metode didaktik.
Di dalam Fawatih dan Khawatim, kita dapat mempelajari bagaimana tekhnik membuka dan menutup suatu pelajaran.
Appersepsi yang berarti menafsirkan buah pikiran dikenal dalam dunia pendidikan sebagai prakondisi sebelum siswa masuk pada materi pembelajaran. Menurut Herbart[24], Appersepsi adalah memperoleh tanggapan-tanggapan baru dengan bantuan tanggapan yang telah ada. Disini terjadi asosiasi antara tanggapan yang baru dengan yang lama. Appersepsi membangkitkan minat dan perhatian untuk sesuatu.
Dalam kaitannya dengan fawatih, salah satu pendapat bahwa huruf muqoto'ah adalah membangkitkan minat orang-orang Arab untuk memperhatikan apa kelanjutan dari huruf-huruf tersebut.
Dalam Fawatih dan Khawatim terdapat model pertanyaan. Diungkapkan oleh S. Nasution, bahwa pertanyaan itu penting di sekolah dan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan, kesangsian, keragu-raguan adalah sumber aktivitas mental. Pertanyaan adalah stimulus yang mendorong anak untuk berpikir dan belajar. Selanjutnya beliau menerangkan sebelas fungsi dan tujuan pertanyaan di antaranya :
1. Membangkitkan minat untuk sesuatu, sehingga timbul keinginan untuk mempelajarinya;
2. Mengubah pendirian, kepercayaan atau prasangka yang tak sesuai.
3. …[25]

Dalam proses belajar mengajar ada komponen yang tidak kalah pentingnya yaitu evaluasi. Evaluasi yaitu tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu, atau dapat diartikan sebagai tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu yang ada hubungannya dengan pendidikan.[26] Salah satu contoh dari Khawatimus suwar, perhatikan akhir surat berikut :
ö@è% ÷Läê÷ƒuäu‘r& ÷bÎ) yxt6ô¹r& ö/ä.ät!$tB #Y‘öqxî `yJsù /ä3‹Ï?ù'tƒ &ä!$yJÎ/ ¤ûüÏè¨B ÇÌÉ
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; Maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?".[27]

Kesimpulan dan Khatimah
Dalam pembahasan ini, setidaknya ada 3 kesimpulan yang dapat kita ambil, yaitu :
Al Qur'an memang benar-benar wahyu Allah SWT.
Dalam membuka dan menutup surat-surat, Allah SWT. Menggunakan beberapa metode yang dapat diformulasikan sebagai metode didaktik Allah kepada Nabi Muhammad dan kepada umat-Nya.

DAFTAR PUSAKA


- Al-Quranul karim
- As suyuti Jalaluddin al-Itqon Fi Ulum al-Quran,{Dar al-Fikri. Beirut}.
- Ash-Shidiqi Hasby Ulum al-Qur’an, Pustaka Rizki putra .Semarang 2002
- Ahmad Rofi’I dan Ahmad Syadali, Ulum al-Quran , {Bandung; CV Pustaka Setia, 2000}.





[1] Jalaluddin as-Suyuti, al-Itqan Fi Ulum al Qur’an,
[2] Ibid al-
[3] Lihat al-Qur’an surat: fatihah, al-an’am, al-kahfi, saba, al-fatir.
[4] Lihat al-Qur’an surat: al-furqan, dan al-mulk.
[5] Lihat al-Qur’an surat: al-Isra’ al-A’la, al-Hadid, al-Hasr, al-Shaff, al-Jumu’ah, dan al-Taqhabun.
[6]Supian dar Karman, Ulumul al-Qur’an (Bandung: Pustaka Islami, 2002), hal. 173-1744
[7] Jalaluddin As-suyuti. Al-itqan fi ulum al-Qur’an.
[8] Hasby Ash-Shidiqi, Ulum al-Qur’an, Semarang, Pustaka Rizki Putra, cet, 2002), hal. 186

[9] Ahmad Syadali dan Ahmad rofi’I, Ulumul quran, ( Bandung ; CV Pustaka Setia, 2000), hal.1955-197

1] Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogya: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 62.
[2] Az Zarkasyi, Al Burhan fi ulumil Qur’an (CD Rom Maktabah Syamilah), Juz I hal. 164.
[3] Sebagai dikutip oleh Supiana, M.Ag dan M. Karman, M.Ag dalam Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hal. 172.
[4] Lihat As Suyuthi dalam Al Itqon fi ulumil quran ( Beirut: Darul fikr, t.t.), juz 2 hal. 105.
[5] Ibid., juz 2 hal. 106.
[6] Ibid.
[7] Ibid., juz 2 hal. 107.
[8] Supiana, ibid., hal. 178.
[9] Surat ini dapat pula dimasukkan ke dalam bentuk penutupan dengan pertanyaan.
[10] Penutupan ini tidak persis di akhir surat, tetapi pada sebelumnya.
[11] Manna’ul Qoththon, Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an (Bogor: Litera Antar Nusa, 1992), hal. 410.
[12] Muhammad Ahmad Ma’bad, Nafhaat min Ulumil Qur’an (Mesir: Darus Salam, 1996), hal. 97.
[13] Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, at Tibyan fi Alsamil Qur’an (Beirut: Darul Fikr, t.t.), hal. 3.
[14] Ibid., hal. 4.
[15] Lihat Islam dalam Lintasan Sejarah oleh Sir Hamilton Alexander Rosskeen Gibb Penerbit Bhratara Karya Aksara - Jakarta 1983
[16] Muhammad bin Alawy, Zubdah al Itqon fi ulumil Qur'an (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 299.
[17] Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil ‘Adzim (Bandung, Diponegoro, 1991), juz 1 hal. 61.
[18] Qur'an in word
[19] Ibnu Katsir, ibid.
[20] Ibid.
[21] Chirzin, ibid., hal. 63.
[22] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhumun Nash; dirasah fi ulumil Qur'an (Mesir: Markaz Staqofy Al Araby, 2000), hal. 194.
[23] Al Qowaidul Hisan, Juz 1 hal. 49, CD Al Maktabah As Syamilah.
[24] Dalam S. Nasution, Prof. Dr. Didaktik Asas Asas Mengajar (Jemmars Bandung, 1986), hal. 158.
[25] Ibid., hal. 162.
[26] Lihat A. Tabrani Rusyan, Drs. Dkk. Pendekatan dalam proses belajar mengajar (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 209.
[27] Q.S. Al Mulk : 30.

Rabu, 18 November 2009

standart al quran

Wawasan tentang al Quran dan Mushaf

Makalah Ini Ditulis untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Dirasat al Quran

 

Dosen Pengampu Drs. H. Mustofa Huda, SH, M.Ag

 

 

 

 

 

 

 


Disusun oleh:

 

Moch. Agus

M. Syafi'i

Abu Sari

Abd. Latif

 

 

 

 

 

 

SEKOLAH TINGGI ILMU USULUDDIN

PONDOK PESANTREN ASSALAFI AL FITHRAH SURABAYA

Tahun akademik 2009

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

Segala puji selalu kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah menurunkan Al-qur’an kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Shalawat serta salam selalu kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan ayat-ayat al-qur’an kepada para sahabatnya.

Serta shalawat dan salam juga kami haturkan kepada para sahabat dan keluarga Nabi yang telah berjasa dalam memelihara al-qur’an, baik melalui hafalan maupun melalui tulisan. Demikian juga kepada para pengikut sahabat (tabi’in) dan pengikutnya (tabi’tabi’in) sampai hari akhir yang penuh amanat dalam mempelajari dan mengajarkan al-qur’an dari generasi ke generasi.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah Dirasat Al Quran dan dipresentasikan dalam pembelajaran di kelas. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Wawasan tentang al quran dan mushaf. Makalah ini dianjurkan untuk dibaca oleh semua mahasiswa pada umumnya sebagai penambah pengetahuan dan pemahaman tentang al quran .

            Akhirnya penulis sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

 

Surabaya, 23 Oktober 2009

                                                        

Tim Penulis

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Wawasan tentang al quran dan mushaf.

 

A.                 Perbedaan al-qur’an dan mushab.

Secara harfiah, al-qur’an adalah bentuk masdar dengan makna qira’ah (bacaan atau kumpulan), yang dalam pengertian selanjutnya diungkapkan sebagai kumpulan kalam Allah SWT, yang dibaca dengan lisan makhluk. Sedangkan secara terminology, Al-qur’an adalah kalam Allah yang berbahasa Arab sebagai mukjizat yang diturunkan pada Rasul-Nya, Muhammad SAW. Melalui perantara malaikat jibril yang tertulis di lembaran-lembaran yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir serta membacanya mengandung nilai ibadah.[1]

Mushaf adalah nama sesuatu yang didalamnya terdapat dari kalam Allah SWT, diantara dua sisi dari lembaran-lembaran al-qur’an[2].

Dari dua definisi diatas dapat kita ketahui bahwa Al Quran lebih khusus daripada Mushaf, dimana dalam penggunaannya al quran selalu berhubungan dengan lafad Qira’ah sedangkan mushaf selalu identik dengan kata Massu, Lamsu dan Haml.

 

B. Karakteristik mushab usmani.

Mushab usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa arab mulai mengalami  kerusakan karena banyaknya pencampuran (dengan bahasa non Arab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushab dengan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk hal itu. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abu Aswad Ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi Talib.

Diriwayatkan, konon Abu Aswad pernah mendengar seorang qari membaca firman Allah ان الله برىء من المشركين ورسوله (at-taubah 9 : 3). Kesalahan qari itu pada pembacaan kasrah “lam” dalam kata رسوله. Hal ini mengejutkan Abu Aswad dan katanya : “Maha tinggi Allah SWT untuk meninggalkan Rasul-nya.” Kemudian ia pergi menghadap Ziyad, gubenur basrah, dan katanya :”Ziyad pernah memintahnya untuk membuatkan tanda-tanda baca supaya orang dapat lebih memahami al-qur’an. Tetapi Abu Aswad tidak segera memenuhi permintaan itu ; baru setelah dikejutkan oleh peristiwa tersebut ia memenuhinya. Disini ia mulai bekerja keras, dan hasilnya sampai pada pembuatan tanda fathah berupa satu titik diatas huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah huruf, tanda dammah berupa satu titik disela-sela huruf dan tanda sukun berupa dua titik.

As-Suyuti menyebutkan dalam al-Itqan bahwa Abu Aswad adalah orang pertama yang melakukan usaha itu atas perintah Abdul Malik bin Marwan, bukan atas perintah Ziyad. Ketika itu orang telah membaca mushab Usman selama lebih dari empat puluh tahun hinga masa kekhalifahan Abdul Malik. Tetapi masih juga banyak orang yang membuat kesalahan dan kesalahan itu merajalela di Irak. Maka para penguasa memikirkan pembuatan tanda baca, titik dan syakal.

Dalam pada waktu itu ada beberapa riwayat lain yang menisbatkan pekerjaan ini kepada orang lain, diantaranya kepada Hasan al-Basri, Yahya bin Ya’mar dan Nasr bin Asim al-laisi. Tetapi Abu Aswadlah yang terkenal dalam hal ini. Nampaknya orang-orang lain yang disebutkan itu mempunyai upaya-upaya lain yang dicurahkan dalam perbaikan dan pemudahan rasm tersebut. [3]

 

C.                 Naskah Utsmani.

Mengenai pengumpulan Al-qur’an pada masa usman. Zaid bin sabit bersama tiga orang Quraisy telah menempuh suatu metode khusus dalam penulisan al-qur’an yang disetujui oleh usman. Para ulama menamakan metode tersebut dengan ar-rasmul Usmani lil Mushab, yaitu dengan dinisbatkan kepada usman. Tetapi kemudian mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya.

1.                  Sebagain dari mereka berpendapat bahwa rasam usmani buat al-qur’an ini bersifat tauqifi yang wajib dipakai dalam penulisan al-qur’an dan harus sungguh-sunggu disucikan. Mereka menisbatkan taukifi dalam penulisan al-qur’an ini kepada nabi.

Ibnu Mubarok mengutip gurunya, Abdul Aziz ad-Dabbag, yang mengatakan padanya bahwa, “para sahabat dan orang lain tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan Al-qur’an karena penulisan al-qur’an adalah tauqifi, ketentuan dari Nabi. Dialah yang memerintakan kepada mereka untuk menuliskannya dalam bentuk yang kita kenal sekarang, dengan menambakan alif atau menguranginya karena ada rahasia-rahasia yang tidak terjangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia Allah Yang diberikan kepada kitabnya yang mulia, yang Dia tidak berikan kepada kitab-kitab samawi lainnya. Sebagaimana susunan al-qur’an adalah mukjizat, maka penulisannyapun mukjizat pula.”

2.                  Banyaknya ulama berpendapat rasm Usmani bukan tauqifi dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu carapenulisan yang disetujui Usman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar.

3.                  Segolongan orang berpendapat rasm usmani itu hanyalah sebuah istilah, tatacara, dan tidak salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untukn imla dan rasm itu tersiar luas diantara mereka.

Abu bakar al-Baqlani menyebutkan dalam kitabnya al-intisar. Tak ada yang diwajibkan oleh Allah mengenahi cara atau bentuk penulisan mushab.karena itu para penulis Al-qur’an dan mushab tidak diharuskan menggunakan rasm tetentu yang diwajibkan kepada mereka sehingga tidak boleh cara lain, hal ini mengingat kewajiban semacam ini hanya dapat diketahui melalui pendengaran(dalil sam’iy) dan tauqifi.

Rasm usmani adalah rasm (bentuk ragam tulis) yang telah diakui dan diwarisi oleh umat islam sejak masa Usman. Dan pemeliharaan rasm usmani merupakan jaminan kuat bagi penjagaan al-qur’an dari perubahan dan penggantian huruf-hurufnya. Seandainya diperbolehkan menuliskannya menurut istilah imla’ di setiap masa, maka hal ini akan mengakibatkan perubahan mushab dari masa kemasa. Bahkan kaidah-kaidah imla’ itu sendiri berbeda-beda kecenderngannya pada masa yang sama, dan bervariasi pula dalam beberapa kata diantara satu negeri dengan negeri lain.     

 

D. STANDARISASI

Ketika terjadi perang Yamama ditahun 633, sejumlah muslim meninggal sehingga dikuatirkan bahwa sebagian Al-Qur'an akan hilang bersamaan dengan meninggalnya penghafal Al-Qur'an tersebut. Maka Abu Bakar meminta Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur'an dan menuliskannya ulang.Mushaf ini kemudian disimpan oleh khalifah Umar dan kemudian oleh Hafsah.

Sekitar tahun 653 M, terjadi ekspedisi ke Armenia dan Azerbaijan. Diantara pasukan Muslim terjadilah pertikaian bacaan Al-Qur'an. Hal ini dilaporkan oleh Hudzaifah bin Yaman kepada Usman yang kemudian memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk menuliskan lagi mushaf dengan mendasarkan dari mushaf yang disusun sendiri oleh Zaid bin Tsabit dan sekarang disimpan oleh Hafsah.

Setelah selesai dibuat, mushaf asli disimpan di Medinah, 4 copy dikirim ke Mekah, Syria, Basrah dan Kufah.

Usman kemudian mengambil langkah drastis dengan memusnahkan seluruh salinan Al-Qur'an yang lainnya dalam bentuk apapun. Sementara mushaf milik Hafsah sendiri akhirnya dimusnahkan oleh Marwan bin al Hakam segera setelah Hafsah meninggal di tahun 54 H (664 M).

Jadi di sekitar tahun 653 M itulah Al-Qur'an yang resmi dinyatakan.

Teks mushaf yang dihasilkan oleh Usman adalah teks konsonan dasar yang tidak dilengkapi dengan vokal dan titik diakritis yang membedakan konsonan bersimbol sama. (15 huruf konsonan dapat dibaca dengan 28 cara berbeda).

Dari teks dasar ini kemudian tulisan Al-Qur'an berkembang dimana di wilayah-wilayah mulai menambahkan vokal dan titik diakritisnya masing-masing. Dalam penambahan vokal dan titik diakritis ini ternyata berjalan tidak seragam.

Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin liar, pada tahun 322 H (944 M), Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban.

Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni :

1. Nafi (Madinah)

2. Ibn Kathir (Mekah)

3. Ibn Amir (Syam)

4. Abu Amr (Bashrah)

5. Asim, Hamzah, dan Kisai (ketiganya dari Kufah).

Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan bahwa "Al-Qur'an diturunkan dalam tujuh huruf."

Selain kiraah 7 diatas, kemudian dikenal juga kiraah 10 dan kiraah 14. Tambahan versi kiraah adalah :

• Kufa

Selain 3 versi kiraah diatas, ternyata masih ada lagi yaitu kiraah Khalaf ibn Hisyam al Bazzar.

• Madinah,

Selain kiraah Nafi ada lagi kiraah versi Abu Jafar al Makhzumi al Madani.

• Mekkah

Selain kiraah Ibn Kathir, ada lagi kiraah Muhammad ibn Abd al Rahman al Makki.

• Basrah

Selain kiraah Abu Amr, ada lagi kiraah Yaqub al Hadlrami, kiraah Abu Muhammad Yahya ibn al Mubarak dan kiraah Abu Said al Hasan ibn Yasar.

Dengan berjalannya waktu, maka dari 14 kiraah tersebut, hanya 2 yang tetap mampu menjaga popularitasnya yaitu kiraah an Ashim dan an Nafi.

Kecenderungan standarisasi semakin mengkristal sejak ditemukannya mesin cetak pada abad ke 15. Dari kiraah tujuh, hanya 2 yang yang dicetak dan digunakan secara luas, yaitu versi an Ashim dan versi an Nafi.

Pencetakan Al-Qur'an versi standard Mesir tahun 1923 mendasarkan pada versi an Ashim telah menjadikannya semacam supremasi kanon Al-Qur'an. Versi inilah yang sekarang dugunakan secara sangat luas oleh masyarakat Islam.

Jadi dalam sejarah Al-Qur'an dilakukan 2 kali standarisasi :

Pertama :

Standarisasi dari berbagai mushaf sahabat. Dari sekian banyak mushaf distandarkan menjadi satu mushaf yaitu mushaf Usman.

Kedua :

Standarisasi dari variasi bacaan mushaf Usman akibat perbedaan penambahan huruf hidup dan pembeda konsonan. Digunakan adalah qiraah an Ashim, namun penulisannya di Mesir tahun 1923 / 1924 tidak mendasarkan dari mushaf kuno manapun melainkan diklaim sebagai murni hasil hafalan.

 

E. AL-QUR'AN YANG SEKARANG

Al-Qur'an yang sekarang digunakan adalah mendasarkan dari versi standard Mesir tahun 1923 mendasarkan pada versi an Ashim.

Satu catatan yang unik adalah mushaf ini tidak disusun dari naskah kuno yang manapun, melainkan mendasarkan pada murni "HAFALAN".[4]

“It was not until the year 1918 when the Muslim scholars, gathered in Cairo, Egypt, and decided to write a standardized edition of the Quran that avoids all the obvious scribes' errors in different editions of the Quran floating in the world and to standardize the numbering f the suras and verses of the Quran. In 1924, they produced the edition of the Quran that later became the standard edition around the world. They depended mainly on the oral transmission of the Quran to correct all the contradiction seen in the different Rasm (Orthography) and numbering of different Qurans”

Hingga ditahun 1918 ketika pakar-pakar muslim, berkumpul di Kairo, Mesir dan memutuskan untuk menuliskan edisi standard al-qur'an untuk menghindarkan semua kesalahan tulisan dalam edisi al-qur'an yang saat itu beredar diseluruh dunia dan untuk menstandarkan penomoran surah dan ayat-ayat Al-Qur'an.

Di tahun 1924 mereka menerbitkan edisi Al-Qur'an yang kemudian menjadi standar edisi diseluruh dunia.

Mereka sepenuhnya mendasarkan pada tradisi lisan al-qur'an untuk mengoreksi semua perbedaan tulisan dan penomoran dari al-qur'an yang berbeda-beda.

Al-Qur'an edisi Mesir 1923/24 inilah yang kemudian disebarluaskan dengan bantuan dari pemerintah Arab Saudi. Tujuannya adalah untuk secara perlahan mengeliminir Al-Qur'an yang berbeda yang saat itu masih digunakan oleh umat muslim[5].

Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiar yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa.

Terbukti kemudian, al-qur'an edisi mesir itu merupakan versi al- qur'an yang paling banyak beredar dan digunakan oleh kaum muslim.

Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah saudi arabia mencetak ratusan ribu kopi al-qur'an sejak tahun 1970-an merupakan bagian dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi al-qur'an.

Tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar Al-Qur'an hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BABIII

Penutup

 

 

 

Kesimpulan

Secara harfiah, al-qur’an adalah bentuk masdar dengan makna qira’ah (bacaan atau kumpulan), yang dalam pengertian selanjutnya diungkapkan sebagai kumpulan kalam Allah SWT, yang dibaca dengan lisan makhluk. Sedangkan secara terminology,

Al-qur’an adalah kalam Allah yang berbahasa Arab sebagai mukjizat yang diturunkan pada Rasul-Nya, Muhammad SAW. Melalui perantara malaikat jibril yang tertulis di lembaran-lembaran yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir serta membacanya mengandung nilai ibadah.

Mushaf adalah nama sesuatu yang didalamnya terdapat dari kalam Allah SWT, diantara dua sisi dari lembaran-lembaran al-qur’an.

Al-Qur'an yang sekarang digunakan adalah mendasarkan dari versi standard Mesir tahun 1923 mendasarkan pada versi an Ashim

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

1.      Al-Shobuni, Ali, At-Tibyan fi ulumil qur’an,

2.      Hasyiah Qulyubi wa ‘umairah,

3.      Khalil, Manna’ al-Qattan, studi ulumul qur’an, perpustakaan Nasional, 2007, 219

  1. The writing of the Quran and the timing of the mathematical miracle www.submission.org/miracle/writing.html
  2. http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=447

 



[1] Ali Al-Shobuni, At-Tibyan fi ulumil qur’an,

[2] Hasyiah Qulyubi wa ‘umairah,  I,155.

[3] Manna’ Khalil al-Qattan, studi ulumul qur’an, perpustakaan Nasional, 2007, 219

[4] The writing of the Quran and the timing of the mathematical miracle www.submission.org/miracle/writing.html

[5] http://islamlib.com/id/page.php?page=article&id=447